Oleh Zulfata
Ada yang berusaha menjaga jarak agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) harus jauh dari politik, ada pula yang menyeret HMI masuk ke dalam politik, dan ada pula yang bingung memahami posisi HMI dalam berpolitik itu seperti apa. Tanpa mengurai terkait varian-varian bentuk politik, HMI diakui atau tidak adalah sebuah organisasi politik, ia terlahir karena situasi politik dan hidup harus bertanggung jawab menjaga stabilitas politik demi kemaslahatan umat manusia dan segala isi alam raya ini.
Memang banyak varian para cendekiawan dan politisi dalam mengartikan politik, ada yang memaknai bahwa politik merupakan suatu upaya merebut kekuasaan, mengelola dan mempertahankan kekuasaan. Juga ada yang menganggap bahwa politik adalah sebagai seni memimpin dalam mengambil keputusan. Ada pula yang menyakini politik adalah jalan yang menghalalkan segala cara. Ada pula yang mempercayai bahwa politik adalah usaha menyelmatkan umat manusia melalui jalur kekuasaan menuju cita-cita negara.
Tentu bagi mereka yang suda kental ber-HMI, ia tidak ada akan lagi bingung memahami di mana posisi politik HMI dalam beragama dan bernegara. Politik HMI ini dapat ditelusuri melalui akar ideologinya yang disebut Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Pada kesempatan ini penulis tidak ingin mengurai bagaimana sejarah terbentuknya Nilai Identas Kader (NIK), atau tidak ingin bagaimana upaya Cak Nur mengonsepsikan ideologi HMI tersebut. Sebab permasalahan ini cukup mudah dijumpai melalui diskusi-diskusi HMI, atau yang lebih tepatnya melalui screening test di Lk-2 HMI dan training selanjutnya.
Hadirnya konsep politik ketauhidan HMI adalah kelanjutan sintesis dari penggalian makna mulai dari awal hingga saat ini terkait apa yang hendak diperjuangkan oleh HMI. Singkatnya, HMI berangkat dari azas ketahuidan yang didasari oleh konsep Islam universal. Pemahaman islamisme dalam HMI jauh dari kata perdebatan furu’iah, HMI bukan sekedar ruang kajian fiqih, bukan pula tasawuf satu perspektif belaka, namun ketauhidan yang dikemas dalam perjuangan HMI adalah ketauhidan yang mendorong kesadaran kader HMI untuk mampu mengakselerasikan kemaslahatan manusia dari segala faktor yang menjadikan umat manusia jauh dari ciri-ciri manusia yang tak beriman.
Ciri-ciri orang yang beriman itu adalah tidak berdusta, tidak suka klaim, tidak suka makan uang haram, tidak suka menerima orderan demonstrasi, atau menerima orderan jangan berdemonstrasi, tidak mempraktikkan politik uang, tidak meninggalkan sholat lima waktu, mengedepankan ukhuwah islamiyah, memperkuat politik kesolehan, efektif dalam bermusyawarah, tidak mata duitan, tidak menjilat, tidak besar pasak dari pada tiang, tidak bekerjasama dengan koruptor, tidak gila jabatan, tidak memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi, tidak kasar, tidak suka merusak fasilitas negara saat kongres, tidak memanfaatkan calon pemimpin sebagai ladang mencari nafkah, tidak mempertahankan gerbong yang telah terbukti bertentangan dengan prinsip keislaman. Demikian seterusnya terkait ciri-ciri manusia yang beriman.
Manusia yang kuat imannya tentu memiliki komitmen untuk mempraktikkan apa yang disebut politik ketauhidan HMI itu. Politik ketauhidan HMI bukan berarti mempolitisasi makna atau tafsiran terkait tauhid untuk mendapat dampak elektoral. Jauh dari itu, politik ketahuidan HMI diartikan sebagai upaya berpolitik yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketauhidan sesuai ajaran Islam.
Kalau kader HMI yakin dengan komitmen ketahuidannya, maka kader HMI itu tidak akan memberhalakan harta, kekuasaan atau kanda. Sejati kader HMI tidak menciptakan tuhan-tuhan baru dalam pikirannya, apakah tuhan yang diciptakannya tersebut masih sebatas spekulasi dari dirinya maupun sepkulasi yang datang dari luar dirinya. Kader HMI harus sadar bahwa tidak ada tuhan yang mampu diciptakan oleh manusia. Karena manusia dan segala alam raya ini sang penciptanya adalah Allah Swt.
Jadi, jika ada kader HMI tidak meyakini bahwa berpolitik tidak akan menuai kemenangan jika tidak mempraktikkan nilai-nilai ketauhidan, maka tingkat ketahuidan kader HMI tersebut dapat dipertanyakan, serta niat ia ber-HMI harus dibongkar kembali. Bagi sebagian kader atau keluarga besar HMI, politik ketauhidan tidak dapat dipraktikkan dalam pertempuran politik, terutama hidup dalam konstestasi politik Indonesia hari ini yang padat modal. Pemahaman seperti ini dianggap hanya cocok dijadikan sebagai bahan kajian, ceramah siraman rohani belaka. Padahal tidaklah sedemikian, Justru kader atau keluarga besar HMI yang berfikir picik sedemikiam sedang terjangkit kekuatan ideologi politik di luar ideologi politik ketahuidan HMI.
Tidak sulit menemukan kader-kader yang mengaku dirinya HMI namun praktik politiknya diluar nilai ideologi politik HMI. Ingat, politik dalam kajian ini adalah hak semua umat manusia untuk saling mengedepankan haknya dalam memperjuangkan tegaknya kebenaran yang diperintahkan oleh Allah Swt. Baik itu dalam bentuk taqwa atau amar makruf nahi mungkar. Tidak jarang pula kita menemukan lebih dari satu daerah di Indonesia yang kader HMI justru lebih memilih jalan kemungkaran untuk menduduki jabatan. Dalam tragedi politik HMI sedemikian apakah kader HMI tersebut telah kehilangan akal sehat atau telah mati nurani keimanannya? Dalam tulisan ini penulis tidak ingin menjawab itu. Jawabnya penulis serahkan pada pembaca sebagai pihak yang otonom dalam mengambil kesimpulan dari bacaan ini.
Alur penguatan politik ketahuidan HMI ini semakin jelas dan terukur jika menulusiri akar pemakanaan yang terdapat pada butir-butir ideologi HMI yang telah ditawari oleh Cak Nur dan rekan-rekannya. Nilai ideologi tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk konsep yang telah terstruktur dan diformilkan secara organisatoris. Meski demikian, ideologi yang diformilkan secara organisatis ini tidak dapat disempitkan karena keterbatasan struktur yang ramah dengan konflik internal yang tak berkesudahan. Sebab ideologi pada dasarnya bukan hanya semata-mata untuk struktur, melainkan untuk pergerakan umat manusia yang berada di dalam struktur. Sebut saja struktur tersebut adalah semua hirarki jabatan di HMI.
Pada posisi ini jangan sempat jabatan organisasi tersebut mengangkangi ideologi yang telah memiliki bantalan yang sangat kuat itu, yaitu bantalan ketauhidan yang tidak akan usang di era perpolitikan masa kapan pun dan di manapun. Kesadaran ketauhidan universal sedemikianlah yang jarang dijadikan kompas politik bagi perjuangan kader HMI dalam agenda perjuangan keislaman dan keindonesiaannya.
Apapun resiko dan tantangan yang dihadapi, pergerakan politik HMI saat ini harus dikembalikan di atas rel ideologi ketahuidan universal itu. Jika tidak perjuangan HMI terus menerus membuka ruang bagi ideologi kapitalis dan ideologi yang serumpun dengannya, termasuk idelogi komunis modern. Jangan-jangan kondisi HMI hari ini sedang menjungjung tinggi praktik ideologi kapitalis atau kumunis modern itu? Sehingga topengnya adalah HMI namun mentalitas kadernya kapitalis atau komunis modern? Nah, silakan pembaca jawab sendiri ya.
Saat politik ketauhidan HMI ini menjadi pendulum berpolitiknya HMI, maka dapat dipastikan tidak ada kekuatan silaturahmi yang justru akan terus membenihkan kekuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di manapun kader HMI berada. Politik ketauhidan HMI ini senantiasa menjadikan perjuangan HMI sebagai panggilan ilahiah dalam memperjuangkan hak-hak rakyat sebagai warga negara dan terus memperjuangkan hak-hak umat sebagai ciptaan Allah Swt.
Pada posisi ini pula, konsep politik ketauhidan HMI tidak akan mengarah pada jaringan terorisme, sebab HMI jauh berbeda tengan terorisme. Tidak ada alasan bagi siapapun ketika ada yang membangun kesadaran tauhid seolah-olah dikaitkan dengan terorisme. Ini harus dipertegas bahwa kasadaran bertauhid rakyat Indonesia jauh lebih wal menjaga persatuan bangsa sebelum negara ini terbentuk, bahkan kesadaran bertauhid turut menyokong kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk itu, kader HMI harus mampu menjaga demarkasi bahwa tidak ada yang bertentangan dengan nilai ketauhidan dengan cita-cita negara Indonesia. Sama halnya tidak ada gunanya untuk mempertentangkan Islam dengan Pancasila, dan tidak ada gunanya mempertentangkan HMI dengan cita-cita Pancasila, serta tidak ada gunanya mempertentangkan ketauhidan dengan cita-cita bangsa.
Di tengah gejolak praqmatisme kader HMI hari ini yang tampak mengalami peningkatan, maka sudah sepatutnya semua pihak yang mengaku dirinya ber-HMI untuk dapat mempertegas arah politik kebangsaan HMI saat ini melalui mengembalikan daya kekuatan politik ketauhidan HMI tersebut, mulai dari tatatan organisasi paling dasar hingga puncak. Jangan sempat pula HMI menjadi seperti ikan busuk yang dimulai dari kepala. Dan jangan sempat pula HMI menjadi tanaman mati yang dimulai dari akarnya. Untuk itu, dengan penuh kesadaran patutlah kita bertanya bahwa jangan-jangan Indonesia dalam keadaannya hari ini disebabkan oleh kader HMI yang tidak lagi percaya dengan kekuatan ideologi organisasinya sendiri dalam mewujudkan adil makmur yang diridhai Allah swt
Penulis adalah provokator akal sehat yang sering masuk dalam training HMI