Oleh Zulfata
Harus Mencermati Indonesia (HMI). Presiden Joko Widodo membuka acara pembukaan kongres HMI. Hebat, HMI dibuka langsung oleh Presiden. Tak ada yang meragukan daya tawar HMI di mata pemerintah pusat. Mengapresiasi berkehendak atau berkesempatannya Presiden Joko Widodo membuka acara besar HMI adalah suatu sikap yang objektif dan kesatria, dengan potret seperti itu pula secara simbol bahwa Indonesia menaruh harapan pada HMI. Ya HMI, “Harus Mencermati Indonesia”. Upaya ini bagian dari sikap tanggung jawab warga negara yang senantiasa tidak boleh jauh dari keingingan untuk mencermati bangsa dan negara. Dari daya dorong mencermati Indonesia inilah sepatutnya generasi Indonesia (termasuk yang mengaku HMI) harus sadar bahwa Indonesia tak boleh lepas dari kendali generasi muda.
Mencermati Indonesia di masa kepemimpinan Jokowi dapat diawali dengan kemenangan Presiden Jokowi yang terpilih sebagai presiden untuk pertama kalinya. Seterusnya ia pun terpilih menjadi presiden dalam kepemimpinan jilid II, pun saat menjabat jilid II, suara keinginan untuk dapat kembali mencalonkan diri sebagai presiden masih bergantayangan di balik adanya agenda amandemen oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM), bahkan semakin majunya koalisi tersebut, menjadikannya terlampau maju hingga koalisi jadi gemuk. Ya gemuk, besar, progresif, berkuasa semua lini, lantas dapat memuluskan apa saja yang dikehendaki. Pada posisi ini publik harus sabar ya, kelewatan ngoceh bisa dilaporkan ke pihak yang berwenang, kenak pasal pencemaran nama baik atau penyebar ujaran kebencian. Jadi berbaik sangka sajalah di hadapan penguasa. Aduh!
Dalam kepemimpinan jilid II Presiden Joko Widodo HMI mendapat jabatan menteri, berikut dengan jabatan strategis lainnya yang juga diisi oleh HMI. HMI memang dekat dengan Presiden Joko Widodo, hadir sebagai pembuka kongres HMI di Ambon dan kongres Surabaya. Sehingga mencermati Indonesia secara tidak langsung sama artinya mencermati HMI. Indonesia mengalami kemerosotan daya demokrasinya, demikian pula HMI sedang terjun bebas pada upaya kemerosotan integritasnya di atas bentalan misi dan ideologinya sendiri.
Pada jilid I kepemimpinan Joko Widodo, HMI terbelah menjadi dua arus, strukturnya diobrak-abrik dengan mengedepankan landasan konstitusinya masing-masing pendukung. Pakar konstitusi bermunculan pada masa itu, yang satu kelompok giat mencari dalil pembenarannya masing-masing. Di tengah kondisi itu pula, HMI terus berfokus untuk menentukann satu arah, sehingga tidak ada lagi kepemimpinan HMI yang tersengat bau cabul atau memaksakan kehendak untuk jadi ketua umum.
Kondisi ke-HMI-an sedemikian menjadikan Indonesia semakin panas, masing-masing petinggi HMI memiliki fondasinya masing-masing dalam bergerak, tanpa fondasi itu, pergerakan mereka akan layu di tengah jalan, dan tanpa fondasi itu pula di anggap petarung yang miskin mimpi jadi ketua umum di HMI. HMI semakin fokus membenahi dirinya, hingga tak jelas apa perannya sebagai nilai tambah bagi pergerakan civil society. HMI dan Indonesia tampak semakin lelah, di tengah kondisi HMI dan Indonesia sedemikian, datang pula satu gelombang arus, entah itu namanya gelombang laut, entah banjir bandang yang meluluhlantakkan aturan lama. Penulis sebagai orang awam tidak mengerti penuh musibah apa yang melanda Indonesia dan HMI. Namun para pakar termasuk aktivis HMI menyebutnya pada masa itu adalah aturan sapu jagat, Omnibus Law.
Tidak hanya itu, berbagai upaya revisi undang-undang “pelemahan” terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menghiasi. Namun apalah daya, HMI sedang fokus berdinamika membentuk karakter juang generasinya. Meskipun dominasi peran karakter kader HMI masa itu tidak banyak menarik perhatian publik sebagai perannya dalam memperbaiki Indonesia dari atas. Pada cerita unik HMI di masa kepemimpinan Joko Widodo ini pula, atas kehendak “kuasa kanda”, usai saling perang klaim melaksanakan kongres, kubu politik HMI secara simbolis menjadi satu. Para aktor HMI masa itu menciptakan sebuah seremonial perdamaian dengan harapan islah menyatukan HMI.
Acara tersebut berlangsung secara dramatis, di sana ada yang bergembira, bertepuk tangan seolah-olah kemenangan sudah di tangan, sikap bangga berapi api, gegap gempita bak suara pidato Bung Karno atau Bung Tomo. Dalam waktu yang bersamaan pula, isak tangis menyelimuti diri, di tengah nuansa akrab, berbagai rasa dendam terus menyelimuti, ada yang telah pasrah mengakiri konflik, ada yang meronta-ronta bagaikan latihan demontrasi bagi kader pemula, kursi pengunjung tiba-tiba memiliki sayap dan kaki, kursi tiba-tiba berpindah tempat, ada yang melayang, ada yang terdampar ke sudut dinding. Kemudian narasi seperti ini disulap menjadi narasi yang konstruktif atas nama “dinamika” Ya, dinamika, satu mantra mujarab mengalihkan perhatian dalam mengukur kemajuan dan keberadaban pergerakan HMI pada masa itu.
Singkat cerita ilusi ini, Presiden Joko Widodo terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya. Demikian pula HMI telah terpilih pemimpin baru pengurus besarnya. Pemimpin HMI terpilih setalah Presiden Joko Widodo mendapat musibah besar yang bernama covid-19. Presiden Joko Widodo beserta jajaran menterinya tampak kewalahan dalam menyelamatkan warga negara dari ancaman covid-19. Berbagai aturan tumpang tindih di sana. Dalam suasana itu pula, Presiden Joko Widod sempat marah-marah di hadapan para menterinya dengan mendesak haru menempuh langkah “extraordinary” sebuah langkah yang luar biaasa. Usai itu beberapa menteri pun diganti, jabatan menteri yang katanya mewakili HMI tidak diganti, masih aman dari upaya diganti oleh perwakilan lainnya. Penampakan Indonesia pada posisi itu penuh dengan pemberitaan kematian, satu wilayah pusat ibu kota, sebut saja Jakarta, “tak henti-hentinya” suara panggilan dari mobil ambulan yang membawa jenazah akibat covid-19. Para tenaga kesehatan lelah. Kekacauan seperti tak terkontrol waktu itu.
Ehhh, hampir larut dengan cerita ilusi terkait duka di balik masa awal kepemimpinan Joko Widodo. Kembali ke masalah HMI, HMI kembali menyusun strategi dalam masa jilid-2 Presiden Jokowi. Masa itu terdapat beberapa sosok menteri yang dianggap simbol HMI, sosok tak jarang dianggap sebagai sosok primadona dalam ber-HMI. Bukan saja jabatan menteri yang didapat HMI, di luar itu juga dapat, misalnya beberapa jabatan slot jabatan strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada masa ini tampak adanya ketergantungan yang kuat antara HMI dan cabinet Presiden Joko Widodo jilid II.
Banyak orang-orang usil menyebutnya bahwa HMI telah bagian integral masa kepemimpinan Joko Widodo. Ada pula yang dianggap keterlaluan bagi orang yang menyatakan bahwa HMI sudah menjadi organisasinya pemerintah dengan tidak menyebutnya organisasi yang melaksanakan program pemerintah. Sehingga fungsi kontrol dan mitra kritis kebijakan HMI tak perlu ditonjolkan lagi. HMI tak perlu melawan pemerintah katanya, sebab itu bukan zamannya lagi. Tetapi sekarang adalah zaman HMI harus berkolaborasi dengan pemerintah, tak boleh menggagalkan agenda pemerintah, termasuk agenda pemerintah dalam menjalin kerjasama dalam bentuk investasi dengan negara asing. HMI jangan terlalu sibuk mengurus sejauhmana potensi ancaman kedaulatan negara terkaitan ada potensi hutang negara yang menumpuk di balik rezeki investasi itu.
Mencermati Indonesia tak akan habis-habisnya, sama halnya menceritakan lelucon pergerakan HMI di masa kepemimpinan Joko Widodo. Melalui tulisan ini senantiasa pembaca dapat melatih kesabarannya, jika ingin mengatakan tulisan ini tidak ilmiah, ya silakan. Penilaian ada pada pembaca, penulis berusaha untuk mendongengkannya saja, meskipun ada pembaca yang menganggap tulisan ini adalah cerminan fakta dari pengalaman penulis dalam ber-HMI, dalam mencermati Indonesia. Yang penting harus pembaca sadari adalah apakah HMI sedang mencapai puncak perjuangannya di masa Presiden Joko Widodo? Atau HMI secara tidak langsung telah luluh atau tunduk dalam nahkodanya Presiden Joko Widodo? Selamat berkontemplasi dan jangan lupa bahagia.
Penulis adalah provokator akal sehat yang sering masuk dalam training HMI