Oleh : Sudirman Hasyim
Peserta LK3 Badko Riau-Kepri
Sejak kemunculan pertama kali Virus Corona di Wuhan sampai saat ini telah memakan banyak korban jiwa. Hampir seluruh negara di dunia dibuat kalang kabut untuk menghadapinya, tak terkecuali Indonesia. Menurut sejumlah pakar epidemologi menyebut Indonesia sebagai episentrum pademi, menggeser Cina, Amerika dan bahkan India. Hal tersebut, suka atau tidak, secara tak langsung mengkonfirmasi bahwa pemerintah telah gagal menangani Covid-19. Apapun alasannya pemerintah harus bekerja jauh lebih keras lagi dari sebelumnya. Mereka semua di gaji dari hasil uang keringat rakyat.
Jadi pemerintah harus berkomitmen dan serius, apa lagi sudah menggelontorkan dana yang cukup fantastis untuk menanggulanginya agar Indonesia keluar dari masalah Covid-19. Per Desember 2020 Badan Pemerika Keuangan (BPK) mencatat total anggaran penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.035,2 triliun. Tetapi upaya itu secara nyata belum terlihat dari tingkat keberhasilannya dan juga tak selinear dengan besaran dana yang telah di kucurkan. Perhari ini kasusnya masih tinggi walupun pemerintah sudah menerapkan berbagai kebijakan.
Kegagalan pemerintah tersebut jangan menjadikan rakyat sebagai kambing hitam, kasihan mereka yang hampir setiap hari hidupnya selalu di bayangi kemelaratan akibat buah dari kebijakan pemerintah yang tak konsisten sejak dari awal kemunculan virus corona, bahkan pemerintah melalui Menkes RI pada saat itu dengan entengnya menyebut Indonesia tidak akan tertular virus Corona. Kenyataan setelah itu virusnya langsung membludak di seluruh Indonesia.
Inskonsistensi Kebijakan PPKM
Hampir dua tahun Covid-19 menyusahkan kita semua dan kondisi ini tak ada yang bisa memastikan berakhirnya sampai kapan selama obatnya belum juga di temukan. Berbagai upaya sudah di lakukan oleh pemerintah, termasuk mengeluarkan beberapa kebijakan yang telah diputuskan, mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diperketat, hingga PSBB transisi dan yang terakhir Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sampai level empat yang di perpanjang sampai 9 Agustus 2021 dan kemungkinan akan di perpanjang lagi kalau di lihat dari pergerakan kasus Covid-19 beberapa hari terakhir ini.
Meski kebijakan-kebijakan tersebut telah diberlakukan, namun kondisi kesehatan masyarakat masih belum teratasi dengan baik, bahkan tingkat keparahannya semakin tinggi dan mengkhawatirkan. Belum lagi diantara para elit dan pejabat kerap kali mengeluarkan pernyataan yang saling bertentangan sehingga rakyat kebingungan harus mengikuti kebijakan yang di keluarkan siapa, apakah di keluarkan oleh Airlangga Hartanto (Menko Perekonomian), atau Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi) atau Budi Gunadi Sadikin (Menteri Kesehatan), atau Presiden Jokowi Dodo itu sendiri...? Hal ini secara tidak langsung menguatkan pendapat publik, ada ketidak beresen dalam manajemen kepemimpinan di internal pemerintah Jokowi Dodo dan Ma'aruf Amin. Para pembantu Jokowi di kabinetnya terlihat berjalan sendiri-sendiri dan tidak bisa menterjemahkan pikiran dan kemauan seorang presiden. Selain dari itu, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah koordinasinya saling bertabrakan, bahkan tak sedikit pemerintah daerah yang membangkan dengan kebijakan pemerintah pusat, entah di balik semua itu ada nuansa politik yang sebenarnya di sembunyikan oleh para elit pengelolah kekuasaan.
Masalah pemerintahan Jokowi ini menumpuk, belum lagi inkosistensi kebijakan yang dibuatnya, mulai dari kebijakan PSBB dan turunanya sampai PPKM level empat lanjutan banyak yang mempersoalkan dan rumusan hukumnya yang tidak jelas. Tidak ada jaminan kesehatan bagi masyarakat. Bahkan, Prof Yusril Ihza Mahendra menyebut salah kebijakan dapat menyebabkan genoside atau kematian massal. Pemerintah kita ini kerap kali inkonsistensi mengenai kebijakanya, dalam rezim UU kekarantinaan kesehatan yang dikenal hanya dua, yaitu karantina dan PSBB, sehingga tidak dikenal istilah PPKM. Pemerintah bukan saja gagal menerapkan kebijakanya, tapi gagal memenuhi amanat konstitusi, yaitu "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.."
Mungkin kondisinya tak separah ini seandainya dari awal pemerintah melakukan lockdown atau karantina wilayah, seperti yang tertuang dalam "UU 6/2018 Tentang Karantina Kesehatan". Dalam hal penyakit yang menular seperti ini harus dilakukan Karantina Wilayah, pemerintah malah mengabaikannya demi menyelamatkan perekonomian. Tapi faktanya saat ini kita bisa lihat, antara menyelamatkan nyawa rakyat dan perekonomian sama-sama gagal. Alasan pemerintah memilih tak melakukan lockdown tidak ada uang, tapi dalam waktu yang bersamaan pemerintah terus menigkatkan nilai utangnya.
Utang Mengkhawatirkan.
Setiap kali pemerintah berutang selalu mendatangkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Ada yang mendukung dan tak sedikit juga yang menolaknya, bahkan kerap kali mengecam dan menghujatnya. Hutang pemerintah pusat yang penulis kutip dari data situs APBN KiTa yang secara berkala dirilis Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah Indonesia per akhir April 2021 adalah tercatat sebesar 6.527,29 triliun. Perlu penulis garis bawahi, bahwa utang sebesar itu bukan semua karna akibat pandemi Covid-19, tapi utang tersebut hasil dari dua periode kepemimpinan Jokowi Dodo.
Setiap tahun grafik hutang pemerintah menunjukan kenaikan, dari tahun 2019 ke 2021 naik sekitar 14,5%. Dengan total utang sebesar itu, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini yakni sudah menembus 41,18 persen. kerentanan utang Indonesia pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Internasional Moneter (IMF) dan/atau International Debt Relief (IDR). Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2020 menunjukkan rasio debt service terhadap penerimaan telah mencapai 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Utang tersebut ini nyaris melampui yang di syaratkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman rasio utang di level 60 persen terhadap PDB. Total utang ini membuat khawatir banyak kalangan, terutama datang dari pemerintah itu sendiri melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga auditor ini menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat di era kepemimpinan Jokowi Dodo.
Mencermati masalah diatas tak sepenuhnya salah ada yang menyebut Periode kepemimpinan Jokowi Dodo sebagai rezim hutang. Mengenai utang ini pasti yang di bebankan lagi rakyat Indonesia melalui APBN. Jangan sampai Indonesia masuk dalam perangkat dan jebakan utang, karena ada beberapa pengalaman negara lain tidak dapat membayar kembali utang yang mereka tanggung, dan ini bisa mengancam kedaulatan bangsa dan negara kita.
Ancaman Krisis
Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan global secara dramatis. Terkait masalah ini tak hanya jadi masalah kesehatan, penyebaran virus ini juga menghentikan roda perekonomian global. Akhir-akhir ini banyak kantor, pabrik dan pusat perbelanjaan tutup, transportasi sebagian besar berhenti beroperasi. Kemarin (1/8/2021), seluruh gerai Giant resmi tutup setelah sebelumnya PT. Hero Supermarket (HERO) mengumumkan akan menutup seluruh gerai miliknya pada bulan Mei lalu. Selain dari itu PT. Ramayana juga akan menutup. Mungkinan akan banyak lagi kasus yang serupa, artinya krisis ekonomi kita itu bukan lagi prediksi, tapi sudah terjadi.
Menurut IMF, dampak krisis ekonomi ini sangat tergantung pada faktor-faktor yang sulit diprediksi, seperti epidemiologi virus, kemanjuran upaya pembatasan serta perkembangan temuan pengobatan dan vaksin. Ditambah lagi, kini semakin banyak tekanan yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia, antara lain krisis kesehatan, keuangan, dan runtuhnya harga komoditas. Bahkan, sekalipun pandemi berakhir, lansekap ekonomi global sudah tak sama lagi. Perlu penulis sampaikan, sebelum pandemi Covid-19 muncul, kondisi ekonomi Indonesia memang kurang baik.
Mengenai krisis ini jika tidak di tangani serius oleh pemerintah Jokowi bukan tidak mungkin akan menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Di dalam negeri nampaknya sudah mulai menurun tingakat kepercayaan masyarakat, khususnya kelas menengah kebawa. Kalau kepercayaan terhadap pemerintah terus merosot biasa jadi akan menimbulkan gejolak sosial politik dan berjuang pada runtuhnya kewibawaan pemerintahan Jokowi, atau sangat memungkinkan rakyat melakukan caranya sendiri untuk melakukan evaluasi total kepemimpinan Jokowi sakarang.
Penulis berharap pemerintah lebih profesional dan amanah menangani pandemi, benar-benar harus dibangun di atas asas melindungi kesehatan dan nyawa masyarakat, bukan untuk melanggengkan kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu yang berada dalam lingkar kekuasaan. Jangan sampai rezim Jokowi di kenang oleh generasi mendatang sebagai pemimpin yang tidak memiliki nurani dan empati terhadap pemenuhan hak kelangsungan hidup dan masa depan rakyatnya.
Sejak kemunculan pertama kali Virus Corona di Wuhan sampai saat ini telah memakan banyak korban jiwa. Hampir seluruh negara di dunia dibuat kalang kabut untuk menghadapinya, tak terkecuali Indonesia. Menurut sejumlah pakar epidemologi menyebut Indonesia sebagai episentrum pademi, menggeser Cina, Amerika dan bahkan India. Hal tersebut, suka atau tidak, secara tak langsung mengkonfirmasi bahwa pemerintah telah gagal menangani Covid-19. Apapun alasannya pemerintah harus bekerja jauh lebih keras lagi dari sebelumnya. Mereka semua di gaji dari hasil uang keringat rakyat.
Jadi pemerintah harus berkomitmen dan serius, apa lagi sudah menggelontorkan dana yang cukup fantastis untuk menanggulanginya agar Indonesia keluar dari masalah Covid-19. Per Desember 2020 Badan Pemerika Keuangan (BPK) mencatat total anggaran penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.035,2 triliun. Tetapi upaya itu secara nyata belum terlihat dari tingkat keberhasilannya dan juga tak selinear dengan besaran dana yang telah di kucurkan. Perhari ini kasusnya masih tinggi walupun pemerintah sudah menerapkan berbagai kebijakan.
Kegagalan pemerintah tersebut jangan menjadikan rakyat sebagai kambing hitam, kasihan mereka yang hampir setiap hari hidupnya selalu di bayangi kemelaratan akibat buah dari kebijakan pemerintah yang tak konsisten sejak dari awal kemunculan virus corona, bahkan pemerintah melalui Menkes RI pada saat itu dengan entengnya menyebut Indonesia tidak akan tertular virus Corona. Kenyataan setelah itu virusnya langsung membludak di seluruh Indonesia.
Inskonsistensi Kebijakan PPKM
Hampir dua tahun Covid-19 menyusahkan kita semua dan kondisi ini tak ada yang bisa memastikan berakhirnya sampai kapan selama obatnya belum juga di temukan. Berbagai upaya sudah di lakukan oleh pemerintah, termasuk mengeluarkan beberapa kebijakan yang telah diputuskan, mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diperketat, hingga PSBB transisi dan yang terakhir Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sampai level empat yang di perpanjang sampai 9 Agustus 2021 dan kemungkinan akan di perpanjang lagi kalau di lihat dari pergerakan kasus Covid-19 beberapa hari terakhir ini.
Meski kebijakan-kebijakan tersebut telah diberlakukan, namun kondisi kesehatan masyarakat masih belum teratasi dengan baik, bahkan tingkat keparahannya semakin tinggi dan mengkhawatirkan. Belum lagi diantara para elit dan pejabat kerap kali mengeluarkan pernyataan yang saling bertentangan sehingga rakyat kebingungan harus mengikuti kebijakan yang di keluarkan siapa, apakah di keluarkan oleh Airlangga Hartanto (Menko Perekonomian), atau Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi) atau Budi Gunadi Sadikin (Menteri Kesehatan), atau Presiden Jokowi Dodo itu sendiri...? Hal ini secara tidak langsung menguatkan pendapat publik, ada ketidak beresen dalam manajemen kepemimpinan di internal pemerintah Jokowi Dodo dan Ma'aruf Amin. Para pembantu Jokowi di kabinetnya terlihat berjalan sendiri-sendiri dan tidak bisa menterjemahkan pikiran dan kemauan seorang presiden. Selain dari itu, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah koordinasinya saling bertabrakan, bahkan tak sedikit pemerintah daerah yang membangkan dengan kebijakan pemerintah pusat, entah di balik semua itu ada nuansa politik yang sebenarnya di sembunyikan oleh para elit pengelolah kekuasaan.
Masalah pemerintahan Jokowi ini menumpuk, belum lagi inkosistensi kebijakan yang dibuatnya, mulai dari kebijakan PSBB dan turunanya sampai PPKM level empat lanjutan banyak yang mempersoalkan dan rumusan hukumnya yang tidak jelas. Tidak ada jaminan kesehatan bagi masyarakat. Bahkan, Prof Yusril Ihza Mahendra menyebut salah kebijakan dapat menyebabkan genoside atau kematian massal. Pemerintah kita ini kerap kali inkonsistensi mengenai kebijakanya, dalam rezim UU kekarantinaan kesehatan yang dikenal hanya dua, yaitu karantina dan PSBB, sehingga tidak dikenal istilah PPKM. Pemerintah bukan saja gagal menerapkan kebijakanya, tapi gagal memenuhi amanat konstitusi, yaitu "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.."
Mungkin kondisinya tak separah ini seandainya dari awal pemerintah melakukan lockdown atau karantina wilayah, seperti yang tertuang dalam "UU 6/2018 Tentang Karantina Kesehatan". Dalam hal penyakit yang menular seperti ini harus dilakukan Karantina Wilayah, pemerintah malah mengabaikannya demi menyelamatkan perekonomian. Tapi faktanya saat ini kita bisa lihat, antara menyelamatkan nyawa rakyat dan perekonomian sama-sama gagal. Alasan pemerintah memilih tak melakukan lockdown tidak ada uang, tapi dalam waktu yang bersamaan pemerintah terus menigkatkan nilai utangnya.
Utang Mengkhawatirkan.
Setiap kali pemerintah berutang selalu mendatangkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Ada yang mendukung dan tak sedikit juga yang menolaknya, bahkan kerap kali mengecam dan menghujatnya. Hutang pemerintah pusat yang penulis kutip dari data situs APBN KiTa yang secara berkala dirilis Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah Indonesia per akhir April 2021 adalah tercatat sebesar 6.527,29 triliun. Perlu penulis garis bawahi, bahwa utang sebesar itu bukan semua karna akibat pandemi Covid-19, tapi utang tersebut hasil dari dua periode kepemimpinan Jokowi Dodo.
Setiap tahun grafik hutang pemerintah menunjukan kenaikan, dari tahun 2019 ke 2021 naik sekitar 14,5%. Dengan total utang sebesar itu, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini yakni sudah menembus 41,18 persen. kerentanan utang Indonesia pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Internasional Moneter (IMF) dan/atau International Debt Relief (IDR). Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2020 menunjukkan rasio debt service terhadap penerimaan telah mencapai 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Utang tersebut ini nyaris melampui yang di syaratkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman rasio utang di level 60 persen terhadap PDB. Total utang ini membuat khawatir banyak kalangan, terutama datang dari pemerintah itu sendiri melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga auditor ini menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat di era kepemimpinan Jokowi Dodo.
Mencermati masalah diatas tak sepenuhnya salah ada yang menyebut Periode kepemimpinan Jokowi Dodo sebagai rezim hutang. Mengenai utang ini pasti yang di bebankan lagi rakyat Indonesia melalui APBN. Jangan sampai Indonesia masuk dalam perangkat dan jebakan utang, karena ada beberapa pengalaman negara lain tidak dapat membayar kembali utang yang mereka tanggung, dan ini bisa mengancam kedaulatan bangsa dan negara kita.
Ancaman Krisis
Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan global secara dramatis. Terkait masalah ini tak hanya jadi masalah kesehatan, penyebaran virus ini juga menghentikan roda perekonomian global. Akhir-akhir ini banyak kantor, pabrik dan pusat perbelanjaan tutup, transportasi sebagian besar berhenti beroperasi. Kemarin (1/8/2021), seluruh gerai Giant resmi tutup setelah sebelumnya PT. Hero Supermarket (HERO) mengumumkan akan menutup seluruh gerai miliknya pada bulan Mei lalu. Selain dari itu PT. Ramayana juga akan menutup. Mungkinan akan banyak lagi kasus yang serupa, artinya krisis ekonomi kita itu bukan lagi prediksi, tapi sudah terjadi.
Menurut IMF, dampak krisis ekonomi ini sangat tergantung pada faktor-faktor yang sulit diprediksi, seperti epidemiologi virus, kemanjuran upaya pembatasan serta perkembangan temuan pengobatan dan vaksin. Ditambah lagi, kini semakin banyak tekanan yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia, antara lain krisis kesehatan, keuangan, dan runtuhnya harga komoditas. Bahkan, sekalipun pandemi berakhir, lansekap ekonomi global sudah tak sama lagi. Perlu penulis sampaikan, sebelum pandemi Covid-19 muncul, kondisi ekonomi Indonesia memang kurang baik.
Mengenai krisis ini jika tidak di tangani serius oleh pemerintah Jokowi bukan tidak mungkin akan menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Di dalam negeri nampaknya sudah mulai menurun tingakat kepercayaan masyarakat, khususnya kelas menengah kebawa. Kalau kepercayaan terhadap pemerintah terus merosot biasa jadi akan menimbulkan gejolak sosial politik dan berjuang pada runtuhnya kewibawaan pemerintahan Jokowi, atau sangat memungkinkan rakyat melakukan caranya sendiri untuk melakukan evaluasi total kepemimpinan Jokowi sakarang.
Penulis berharap pemerintah lebih profesional dan amanah menangani pandemi, benar-benar harus dibangun di atas asas melindungi kesehatan dan nyawa masyarakat, bukan untuk melanggengkan kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu yang berada dalam lingkar kekuasaan. Jangan sampai rezim Jokowi di kenang oleh generasi mendatang sebagai pemimpin yang tidak memiliki nurani dan empati terhadap pemenuhan hak kelangsungan hidup dan masa depan rakyatnya.