Oleh Zulfata
Munculnya para pemimpin penakut, diwayangkan, baperan, gemar menumpuk harta, ingin selalu diistimewakan, anti kritik, takut miskin, harus mengembalikan modal kampanye. Serangkaian perilaku pemimpin sedemikian layak disebut tidak memiliki wawasan kebangsaan dengan tidak harus mengikuti ujian Tes Wawasan Kebangsaaan (TWK) di KPK. Seiring dengan meningkatnya harta para pemimpin/pejabat di negari ini, selain didorong oleh kondisi politik padat modal yang terus menjadi habitus berpolitik bagi geneasi muda, maka menarik untuk menggugah kembali dua kata dari bahasa Belanda yaitu leiden (memimpin) dan lijden (menderita) yang kemudian menjadi filosofi memotret kualitas pemimpin, meskipun filosofi ini ingin dibantah dengan praktik politik Indonesia hari ini.
Fakta leiden is lijden dapat dilihat dari kehidupan Muhammad Hatta dan Agus Salim. Usai menjabat wakil presiden, Muhammad Hatta kesulitan membayar tagihan listrik dan air di rumahnya, dan saat menjabat hingga ajal menjemputnya, ia pun tak mampu membeli sepatu merek Bally yang diinginkannya. Peristiwa sedemikian juga dialami oleh Agus Salim, bapak pendiri bangsa yang dikenal cakap dan tegas dalam berdiplomasi ini hidup dari rumah kontrakan ke kontrakan, pernah hidup tanpa listrik, hingga akhir hayatnya Agus Salim tidak memiliki rumah.
Sejarah hidup Muhammad Hatta dan Agus Salim adalah sosok yang teladan dalam memimpin, mereka tidak gila harta, tidak diperbudak kekuasaan, tidak memberhalakan harta, apa lagi penjajah dalam bentuk trirani-oligarki. Mereka hidup penuh dengan prinsip berkerakyatan. Menumpuk harta adalah sesuatu yang terus mereka hindari, mereka mempengaruhi keluarganya untuk tidak melihat kenikmatan harta dan tahta. Sejatinya apa yang dilakoni oleh Muhammad Hatta dan Agus Salim tidaklah membuat mereka miskin atau menderita. Tetapi mereka bahagia dengan hal tersebut, meraka hidup dengan prinsip keteladanan memimpin, mereka kaya dalam menyumbang buah pikir dan tindakan untuk memperkuat bangsa Indonesia yang patut disadari oleh generasi setelahnya.
Berangkat dari sejarah kehidupan bapak pendiri bangsa tersebut, mencermati perkembangan bangsa Indonesia hari ini seakan membuat kita tak percaya bahwa transformasi keteladanan itu mengalami kehilangan jejak dalam perkembangan politik pemimpin negara masa kini. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pemimpin yang tidak berorientasi harta dan tahta, justru semakin menggila adalah keinginan untuk terus memimpin dan menumpuk harta dianggap sebagai prestasi memimpin.
Kondisi masa kini, sulit bagi yang tanpa harta untuk menduduki jabatan pemimpin. Mahar politik, distribusi kekayaan terhadap mitra pemimpin, hingga memenuhi hidup tim sukses. Semua ini seolah-olah hanya dibungkus sebagai biaya politik yang wajar. Pandangan bahwa pemimpin harus hidup mewah, memiliki aset seperti rumah, tanah, hingga perusahaan yang tidak sedikit adalah sesuatu yang diimpi-impikan oleh pemimpin. Dengan berpandangan seperti inilah kita mudah menemukan bupati/wali kota, bahkan kepala dinas atau rektor, usai menjabat kemudian aset mereka bertambah. Penambahan aset sedemikian boleh jadi hasil dari kreatifitasnya dalam mensiasati kekuasaaan pada saat menduduki jabatan.
Parahnya, pandangan berpolitik sedemikian telah mendarah daging, dengan tidak menyebutnya telah menjadi budaya berpolitik bagi generasi. Calon pemimpin yang ingin mencalonkan diri harus mampu memehuni harta dalam jumlah tertentu, saat harta berada di bawah takaran tertentu, maka tidak akan ada yang serius membantu untuk memperjuangkannya. Seterusnya, saat pemimpin terpilih setelah menghamburkan harta dalam takaran tertentu, maka di waktu tertentu harta yang dihabiskan harus mampu digandakan kembali untuk dikembalikan. Potret hasrat kepemimpinan seperti ini menjadikan kekuasaan dapat dijadikan sebagai alat pengganda kekayaan yang berlipat-lipat.
Saat pemimpin memiliki banyak harta, semakin mudah pula ia mengontrol, semakin banyak celah untuk membuka akses politikya. Akhirnya tidak ada pemimpin yang menderita, justru yang ada adalah pemimpin semakin berharta dan berfoya-foya. Terkadang kondisi pemimpin seperti ini membuat pemimpin tersebut lupa diri, atau pura-pura lupa dengan janji yang pernah ia umbarkan di hadapan rakyat. Kondisi perpolitikan masa kini tidak melihat lagi filosofi leiden is lijden, filosofi ini dianggap sebagai sesuatu yang usang, prinsip yang tidak layak untuk diikuti. Memimpin adalah jalan penderitaan, atau memimpin harus rela menderita hanyalah sejarah, perlu menciptakan sejarah baru dengan filosofi memimpin adalah jalan menumpuk kekayaan serta hidup penuh dengan keistimewaan pelayanan. Leiden is lijden tak begitu penting. Kacau memang kalau filosofi memimpin sudah berganti.
Ketika pandangan politik telah menguat pada orientasi harta-kuasa saat menjabat atau setelah menjabat, maka akan menciptakan kesadaran kolektif yang kemudian menjadi ruang praktik bersama. Pemimpin, pejabat, pengusaha, rakyat, pihak asing, semuanya sokong-menyokong dalam menjadikan politik padat harta-kuasa. Kondisi inlah menjadikan bangsa Indonesia semakin dekat dengan manipulasi Pancasila dan merayakan kehidupan oligarki.
Untuk mengembalikan dan penguatan leiden is lijden tidak ada jalan lain untuk terus mengingatkan para pemimpin atau calon pemimpin untuk mampu berkehidupan leiden is lijden seperti yang diteladani oleh Mohammad Hatta dan Agus Salim. Maka dari itu, siapapun yang ingin jadi pemimpin politik, ia harus memastikan bahwa ia berada di kutub mana, kutub leiden is lijden atau kutub pemimpin sebagai alat pengganda kekayaan yang berlipat-lipat. Tanpa ada keinginan untuk menentukan jalan kepemimpinannya saat ingin jadi pemimpin, maka siap-siaplah terombang-ambing. Jika berada di kutub leiden is lijden, maka lawanlah segala praktik penjajan yang dihadapkan pada calon pemimpin atau yang sedang jadi pemimpin. Jika berada di kutub pemimpin sebagai alat pengganda kekayaan yang berlipat-lipat, maka siap-siaplah menjadi benalu dan sampah masyarakat dengan jabatan yang telah dicapai.
Untuk itu, pembicaraan, kajian, tulisan hingga gerakan tidak boleh lepas dari hal kepemimpinan. Perubahan generasi tidak boleh dibiarkan begitu saja, ada tanggung jawab pembekalan spirit kepemimpinan di sana. Menerima generasi pemimpin baru adalah keniscayaan, namun pemimpin atau pemain lama juga tak ingin ketinggalan, bahkan jebakan-jebakan untuk tetap mengikuti pemimpin lama terus ditebarkan hingga hari ini. Kaedah “setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya” tidak akan berlaku selama kekuatan oligarik semakim berperan dan terdepan, yang berlaku justru kaedah setiap orang harus antri dan bersedia mengikuti apa selera tuan. Kondisi ini menjadikan jabatan adalah “jebakan”, jebakan memberhalakan tuan, menyembah harta-kuasa. Lantas sebagai generasi muda, apa yang harus dilakukan? Kuncinya tetap leiden is lijden, tidak ada yang instan, di situ perlu perjuangan yang terkadang harus bersahabat dengan kemiskinan di mata manusia berpikiran kerdil dan bermental picik.
Penulis adalah direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)