Oleh Zulfata
Kesekian kalinya saya melewati halaman gedung wali nanggroe. Sekilas tampak seperti istana negara. Seolah-olah itu simbol pemimpin negara (Aceh), keistimewaannya tak sama dengan gubernur. Begitulah cara pikiran saya bercanda. Usai meninggalkan panorama gedung wali nanggroe itu, sejenak membuka media sosial (medsos) untuk melihat seberapa tinggi akselerasi politik pasar global dalam meracuni otak generasi muda. Tak terduga, muncul berita terkait anggaran dan pengadaan lembaga wali nanggroe yang jumlahnya rupiahnya tidak sedikit. Di sela itu pula, pikiran saya mulai bercanda lagi, “lagi-lagi wali nanggroe”, “apakah wali nanggroe itu?”, “mendatangkan manfaatkah lembaganya?” atau “menggunungkan mudharat?”.
Dalam situasi canda pikiran itu, juga muncul nalar pembanding “wali nanggroe adalah kepemimpinan buah dari prestasi sejarah”, “wali nanggroe adalah pemimpin adat dan budaya” “wali nanggroe adalah pemimpin politik kebudayaan”, “wali nanggroe adalah harapan persatuan masyarakat melalui identitas kekuasaan”, “wali nanggroe adalah yang dimuliakan karena integritas dan keteladanannya”. Begitu dialetika internal yang terjadi dalam diri saya saat itu.
Agar tidak terjebak dalam kerangka nalar canda dan nalar positif terkait wali nanggroe. Saya berusaha mengalihkan pandangan terkait nasib budaya Aceh dan kondisi perekonomian hari ini. Berusaha untuk mencari titik dorong agar Wali Nanggroe juga dapat dijadikan sebagai instrumen mempekuat budaya dalam peningkatan perekonomian. Dalam hal ini terbesik pikiran bahwa mengapa tidak wali nanggroe dihadapkan pada strategi seperti Korea dengan daya sebar budayanya yang dapat mendongkrak perekonomian dengan segala produk turunannya. Sehingga ekspansi budaya hidup dalam satu tarikan nafas dengan daya lenting perekonomian di Aceh.
Memang dipandang agak kaku saat mendesak kinerja wali nanggroe di era “feodalisme Aceh”saat ini. Terlebih di lembaga wali nanggroe itu diisi oleh kaum ulama dan orang-orang yang secara khazanah khatam soal budaya Aceh. Mungkin dalam kondisi seperti ini budaya tidak ada lagi hubungangannya dengan militansi dan praktik, cukup dengan simbol dan khazanah, cerita ke cerita, sejarah ke sejarah, audiensi ke audiensi. Begitulah strategi pengembangan budaya di bawah kepemimpinan wali nanggroe hari ini. Ups, maaf saya keliru, mohon maaf atas pikiran saya yang bercanda ini.
Tanggung jawab untuk medorong keadaban politik tak perlu dihubung-hubungkan dengan posisi wali nanggroe, sebab pemahaman seperti ini dipandang sebagai upaya menjelekkan nama baik wali nanggroe. Jika benar wali nanggore tidak berkerja atau justru berpihak pada satu partai lokal saja, maka hal ini bukan sesuatu yang melemahkan posisi wali nanggroe. Melainkan sengaja dibiarkan. Mengharapkan lembaga wali nanggroe untuk bersikap bijaksana dalam memperbaiki iklim poitik Aceh agar tampil lebih elegan dan progresif masih menjadi harapan, bukan harapan kosong, atau ramuan pidato kosong belaka di panggung serimonial adat.
Politik dan ekonomi seolah-olah tidak ada kaitannya dengan tanggung jawab wali nanggroe, meskipun sarana dan prasarananya menggunakan anggaran publik yang bersumber dari pajak. Dalam masukan melalui pajak itu ada peran pedagang, tukang parkir hingga tukang becak. Jadi posis wali nanggroe tidak perlu memikirkan nasib pedagang, tukang parkir atau tukang becak. Cukup Wali nanggroe mendukung satu partai lokal saja yang dianggap sebagai pelanjut titah indatu. Ah, sepertinya saya salah lagi.
Kondisi wali nangroe seperti ini tentunya bukan menjadi fokus garapan dalam hal melalukan pencerahan politik publik, terlebih lagi dalam agenda reformasi birokrasi. Mendorong perbaikan lembaga wali nanggroe tidak boleh melalui jalur kritis, cukup dipuji dan dibiarkan saja. Yang penting terus memberikan ucapan “paduka yang mulia”, meskipun tanggung jawab kinerjanya tidak paham apa yang berdampak memuliakan masyarakat Aceh. Apakah ini tak beda dengan proses pembohongan dengan tidak menyebutnya sebagai memuliakan yang tidak jelas arahnya? Saya tidak mengetahui pola seperti ini disebut sebagai apa, mungkin ada yang menyebutnya pola seperti ini disebut sebagai praktik mempromosikan kebodohan kolektif atas nama budaya Aceh ke panggung dunia?
Apakah sedemikian budaya Aceh? Apakah masyarakat Aceh terus membiarkan kondisi wali nanggroe sedemikian? Waduh saya lupa, wali nanggroe hanya bisa dipilih oleh elite, hak demokrasi masyarakat tidak perlu menyumbang pikir terkait itu. Sebab Wali Nanggroe bukan bagian dari sitem demokratis. Jika sesuatu terkait demokrasi dianggap merong-rong lembaga wali nanggroe, maka itu tidak dipandang baik. Beda halnya ketika aspek demokrasi itu menguntungkan lembaga wali nangroe secara materil, maka itu boleh. Jadi lembaga wali nanggroe ini cukup lincah dalam berdemokrasi.
Jika manarik benang merah apa yang diuraikan di atas, maka tanggung jawab penguatan budaya Aceh yang kemudian mampu mendongkrak perekonomian serta memperkuat keadaban politik, inilah pekerjaan rumah lembaga wali nanggroe. Dengan menumpuknya pekerjaan rumah ini tentunya semua yang terlibat dalam birokrasi wali nanggroe itu semestinya harus memiliki kecakapan dalam menyusun strategi, berkomitmen untuk menjadikan kebudayaan Aceh sebagai panglima pembangunan di Aceh.
Saya kembali melanjutkan perjalanan, melewati gedung kantor gubernur, “ini lain lagi persoalan”, “lain ulah wali naggroe, lain pula gelagat gubernur”. Saat dalam perjalanan dengan motor merakyat saya, saya dilanda hujan, dialetika internal pikiran saya pun terjeda. Saya berusaha fokus mengendara, mana tahu nanti genangan air tiba tergilas, soalnya kota Banda Aceh akhir-akhir ini berpotensi munculnya “destinasi wisata” dadakan yang bernama kolam di tengah kota.
Penulis adalah Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)