Oleh : Zulfata
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
Amelia, namanya mirip dengan album lagu Camelia karya Ebiet G Ade. Sebutan Camelia tak asing bagi pecinta lagu lawas Indonesia yang populer di tahun 1980-an. Namun sebutan Amelia menggunggah jagat raya Aceh di tahun 2021. Meski dua hal yang berbeda, Amelia dan Camelia dapat ditarik dari satu penggalan liriknya Ebiet. “…mengarungi nasibmu mengikuti arus air berlari”. Dari tafsiran bebas lirik inilah cerita vaksin Amelia dimulai.
Amelia, nasibmu “mengikuti arus” peraturan untuk dapat wisuda, mendapat gelar, apakah itu persembahan untuk orang tua, sanak saudara, atau untuk tumpuan karier masa depannya. Amelia mengikuti “air berlari”, dari meja birokrasi satu ke birokrasi lainnya. Kegigihan Amelia tak segigih pimpinan sekolahnya dalam mensyiasati pencegahan penularan covid-19 dengan jalan pintas politik administrasi.
Amelia terus menyusuri rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya untuk melengkapi syarat dalam mencapai impian. Ternyata bernar, rumah sakit itu memang “sakit”. Begitu juga sekolah itu, “sakit” dalam membuat peraturan. Pelayan administrasinya pun “sakit”. Karena Amelia mengigikuti arus pelayanan publik yang “sakit”. Hingga ia pun merasakan kesakitan itu.
Seterusnya, jati diri Amelia menolak, tubuhnya mengeluarkan muntah, sekujur tubuhnya kejang-kejang, mendekam, dirumah sakit yang sengaja mengundangnya untuk sakit. Amelia terbaring, lumpuh setengah badan. Vaksin Amelia pun terus berlanjut. Jagat raya informasi berwarna, masyarakat tersentak sembari mengucapkan “gimana ni?”, “vaksin oh vaksin”. “setelah begini, siapa yang bertanggung jawab?”.
Apa yang dialami Amelia bukan bagian dari menolak vaksinasi. Ini adalah prestasi kebijakan konyol dari sebuah sekolah yang dipimpin oleh seorang guru besar, berlagak bak rektor, ingin jadi menteri, tapi jejak altruismenya masih dipertanyakan oleh publik. Sebab ia terlibat dalam pembangunan tembok “Berlin”. Namanya juga disebut dalam kasus keistemewaan gubernur, ia gencar bicara kualitas pendidikan. Sungguh ia memang sosok orang yang sukses. Sukses untuk menyelesikan catatan pinggir yang usil ini. Cukup. Lanjut cerita vaksin Amelia.
Di balik Amelia, ada peristiwa kemanusiaan. Ada ketimpangan pelayanan. Ada keapatisan generasi muda yang sama-sama mempertontonkannya tanpa ada sikap untuk mengevaluasi kebijikan. Menolak adanya Amelia-Amelia baru, yang jelas ini bukanlah sebuah kecelakaan medis, tapi ini adalah potret pelayanan publilk yang akut, mulai dari hasrat pembuatan kebijakan, hingga tradisi birokrasi yang dihadapi wong cilik.
Amelia tak lumpuh, ia hanya diam sejenak, berbaring dalam diam, sesekali ia merenungkan beberapa hal yang membuatnya seperti itu bukanlah karena ia tak taat aturan. Melainkan ia terkapar karena peraturan. Dari Amelia kita banyak mengambil pelajaran. Mulai pelajaran bagi pembuat kebijakan yang ugal-ugalan, hingga pelayanan publik yang tak ubahnya dengan lari obor. Kebijakan klasik, tak mampu menerobos kebijakan yang bersifat berlapisan rekomendasi. Di era kenormalan baru pun masih berlaku rekomendasi bertahap-tahap. Di era memperkuat inovasi pun masih mempertanyakan sertifikat. Cerita vaksin memang bukan sekedar soal medis, tapi juga mampu membuka kotak pandora kebrobrokan manusia di dalamnya.
Dari Amelia, pejabat, dan pelayanan publik seharusnya dapat mengambil pelajaran. Bahwa tidak semua manusia dapat diperlakukan secara sama dan merata, ini masih problem ketimpangan keadilan. Demikian halnya pelayanan berbasis presisi yang dilayani harus dijadikan kesadaran bagi siapapun yang menjadi aktor pelayan publik. Ingat, “pelayan” publik. Bukan majikan, sekali lagi bukan majikan.
Jalan persimpangan Amelia pun telah dilewatinya, ia berusaha untuk memilih semua jalan yang disodorkan padanya, namun dari dalam dirinya membunyikan lonceng jeda. Dirinya memberontak karena kecongkakan pola administrasi yang harus di laluinya. Tentu Amelia sudah memafkan, memafkan apa yang telah dilaluinya sebagai takdir baik, senantiasa pula membaikkan kondisi birokrasi negeri dalam menghadapi pandemi.
Dari Amelia pula kembali mengingatkan kita bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati, mengevaluasi bukan barati membenci. Yang sudah terjadi jangan sempat terulang kembali. Amelia sudah menjadi saksi. Terima kasih Amelia, sementara waktu memang anda sedang sakit, semoga cepat pulih, meski kondisi negeri terus menjadi-jadi dengan praktik pilihan administrasi yang menimpamu.
Tragedi vaksin Amelia terus melahirkan sintesa baru di kalangan masyarakat, yang seharusnya masyarakat Aceh siap untuk divaksin, justru kehadiran Amelia di jagat media membuat yang lain berfikir dua kali ketika ingin divaksin. Pertama, soal siapa yang melakukan vaksin? Kedua, bagaimana potensi vaksin ketika mendekam di dalam dirinya? Efek Amelia dari daerah barat bukan menggiring kita untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah. Tetapi sejauhmana kita mampu melakukan langkah mitigasi sebelum menciptakan kebijakan.
Jangan sempat niat untuk menyelamatkan manusia jutrus mengundang kecelakaan manusia, atau seiringan berjalannya waktu, dibalik semangat kita melakukan vaksinisasi, terus menampilkan sosok-sosok manusia celaka akibat tak meresapi tragedi kemanusiaan di sekitar kita. Demikianlah cerita vaksin Amelia, sebuah vaksin kemanusiaan dari seorang mahsiswa semester akhir yang menggugah kita dan pejabat kita.