Oleh Zulfata
Dewan Persandiwaraan Rakyat Ajaib (DPRA) adalah tumpuan harapan bagi banyak masyarakat. Para dewan dipilih oleh masyarakat melalui mekanisme yang disebut pemilihan kucing dalam karung. Transaksi, gratifikasi, hingga menabur janji-janji telah dianggap lazim dalam proses pemilihan mereka. Jika tidak menggunakan jalur itu, sungguh kursi panas DPRA itu tidak mungkin diduduki.
Kehidupan dewan. Kemudian disebut sebagai dewan yang terhormat. Jika tidak dihormati, mereka akan marah, sebab mereka mengetahui bahwa keberadaan mereka sungguh bermartabat. Sehingga DPRA berhasrat membangun koalisi “Bermartabat yang Ajaib”. Jadi, melihat martabat posisi mereka tidak seperti memahami indikator martabat secara normal layaknya berbicara dengan jujur, bermoral dan berintegritas. Tetapi bermartabat mereka berada pada hal di atas normal, yakni lain dibicarakan lain pula yang diperbuat.
Kondisi sedemikian sudah menjadi kawajiban, sebab lembaga dan jabatan mereka dibentuk memang khusus untuk mencapai tingkat persandiwaraan (level dewa). Oleh karena itu disebutkan sebagai Dewan Persandiwaraan Rakyat Ajaib yang disingkat jadi DPRA. Dewan sebagai sosok atau aktor yang memiliki hak dan kewajiban khusus (tidak seperti rakyat jelata), kemudian “persandiwaraan” adalah bentuk perjuangan, dan rakyat Ajaib sebagai penanda bahwa mereka mengabdi pada rakyat yang ajaib, bisa ditipu, bisa berubah dan mudah dipersuasif melalui persandiwaraannya dewan yang terhormat.
DPRA memiliki hak khusus, istimewa, tentunya persandiwaraan yang mereka bangun harus berlandaskan aturan-atauran yang terkadang mereka tak begitu senang dengan aturan tersebut, sebab aturan mereka harus tunduk dari rebublik persandiwaraan pula. Dengan kondisi seperti ini sesekali DPRA juga melakukan perlawanan untuk tidak berlebihan mengatur lapak persandiwaraan mereka. Sehingga persandiwaran melawan persandiwraan pun terjadi. Akhirnya orkestra pun terus dihidupkan dan dipertontonkan kepata tuannya yang disebut rakyat. Bukan rakyat ajaib, karena rakyat dengan rakyat ajaib jauh berbeda maknanya. Jika rakyat ajaib itu adalah rakyat yang tunduk dan patuh seutuhnya atas perintah dewan, dan rakyat adalah rakyat yang masih memiliki akal sehat dalam menilai persandiwaraan yang dilakoni oleh DPRA.
Secara peraturan, DPRA memiliki tiga fungsi yaitu membuat aturan, penganggaran dan pengawasan. Tiga fungsi ini tentunya harus melalui kaedah-kaedah persandiwaraan. Aturan yang dibuat untuk disandiwarakan, dan seterusnya fungsi lain pun harus disandiwarakan. Pemahaman inilah yang mungkin kurang dipahami oleh rakyat bahwa DPRA dituntut untuk lincah bersandiwara, karena itu bagian dari kewajiban dan seni bekerja mereka.
Memang terkadang kekuatan DPRA dapat semu, sebab daya persandiwaraan di lembaga yang seharusnya DPRA anggarkan dan awasi justru mudah disandiwarakan. Siapakah lembaga itu, sebut saja namanya lembaga eksekutor yang dipimipin oleh Gubertor (Jadi gubernur setelah peristiwa koruptor). Jadi, ia jadi gubernur bagian dari kecelakaan kepemimpinan. Artinya bukan dipilih oleh rakyat.
Gubertor sangat mahir dan gesit, ia efektif memilih dan memilah prajurit-prajurit dalam menghadapi DPRA. Kekuatan sandiwara prajuritnya memang tak sehebat Gubertor, dan hal ini adalah suatu kewajaran meskipun ada yang beranggapan bahwa para prajurit Gubertor sesekali bersikap kurang ajar terhadap DPRA atau di hadapan rakyat. Ya, kurang ajar bukan sesuatu pernyaataan yang kasar, ia hanya sebuah pernyataan bahwa harus terus diberikan pelajaran, pelajaran kejujuran, moralitas atau tanggung jawab.
Gubertor dan DPRA adalah sama-sama pejabat publik, hanya saja dua golongan ini mengambil peran yang berbeda, yang satu sepagai legislator, dan yang satunya sebagai pimpinan eksekutor. Berdasarkan kajian catatan usil, dua golongan ini sering bekerjasama dalam menciptakan orkestra atau drama yang disajikan kepada rakyat. Judul drama yang pernah populer di antaranya dalah “Pemakzulan Gubertor”. Dengan adanya drama ini sempat melibatkan berbagai pergerakan mahasiswa sebagai pasukan hore-hore.
Drama dari aksi persandiwaraan dua lembaga terhormat ini disajikan dihadapan publik secara Cuma-Cuma, tidak ada calo tiket menonton hal ini. Sebab calo itu sengaja diciptakan hanya untuk proses pencarian bagi rekanan siapa yang cocok untuk diajak kerjasama. Biasanya, puncak dari drama antara Gubertor dengan DPRA adalah terbukanya ruang kompromi, bagi-bagi rezeki persandiwaraan. Saat kompromi tercapai, drama pun berhenti.
Biasanya tanda-tanda saat Gubertor dan DPRA ingin melakukan dramatisasi dapat dipahami melalui hiburan rakyat soal kemiskinan dan pembangunan serta “politik tumpok”, mereka saling melakoni peran yang ajaib-ajaib. Ada yang mengambil peran kesatria dan ada pula yang mengambil peran antagonis. Intinya sosok kontradiktif selalu menjadi pusat perhatian publik dalam drama karya Gubertor dengan DPRA.
Drama ini terjadi tidak perlu sesuai dengan skrip atau naskah dramanya, karena drama ini bagian dari seni politik populis atau wahana adu tampil soal siapa yang paling mahir bersandiwara. Terkadang ada yang menampilkan sandiwara melalui media sosial (medsos), dan terkadang persandiwaraan tersebut dibesar-besarkan oleh pasukannya yang disebut sebagai tim setia. Sehingga persandiwaraan DPRA dan Gubertor disokong oleh persandiwaraan para pengikut setianya. Akhirnya aktivitas kenegaraan sudah menjadi aktivitas persandiwaraan kolektif dan berkelanjutan. Demokrasi persandiwaraan, dari persandiwaraan rakyat ke persandiwaraan pejabat serta pemilih. Inilah kesuksesan DPRA.
DPRA sampai kapanpun akan terus menjadi pusat perhatian, selalu dilirik, banyak yang berkeinginan duduk di sana. Untuk menjabat di DPRA tentunya tidak dengan pikiran yang kosong dan cukup berpangku tangan sambil merawat imajinasi kosong dan ompong. Tenaga pikiran dan finansial adalah dua hal yang harus dipadukan dalam menginovasikan drama dari masa ke masa, agar sesuai dengan tuntutan era keninian. Drama dari DPRA untuk rakyat jelata. Drama yang menghibur kita betapa “lucunya” kita saat memberikan dan membiarkan kekuasaan dikemas, dirancang oleh DPRA yang mampu bermain air mata Buaya dan teriak-teriak Srigala.
Penulis adalah Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)