Oleh Zulfata
Gubernur, pimpinan atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), bupati/wali kota, Kepala Dinas, rektor, ajudan birokrasi, siapa pun harus ditangkap ketika terbukti melakukan korupsi. Hal ini berkaitan erat dengan kepastian dan keadilan penegakan hukum di Indonesia sebagai negara berkonstitusi, bukan negara tebang pilih kasih dalam penerapan kebijakan negara. Persoalan korupsi, Indonesia hampir identik dengan korupsi dengan tidak menyebutkan “saya Indonesia, saya korupsi”.
Khusus di Aceh, bukan suatu hal yang baru gubernurnya ditangkap karena korupsi, dan bukan pula suatu yang tak pernah saat bupatinya juga ditangkap kerena korupsi. Seiring dengan itu pula, tidak tertutup kemungkinan akan ada pimpinan DPRA juga ditangkap karena korupsi. Soal tangkap menangkap koruptor di Aceh tentunya tergantung sejauh mana nyali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti problem korupsi di Aceh.
Mencermati tren pemanggilan lanjutan oleh KPK terhadap sejumlah pejabat publik di Aceh, termasuk di dalamnya adanya pemanggilan kepala dinas dan pimpinan DPRA, secara tidak langsung slogan Aceh Hebat dapat berubah menjadi Koruptor Hebat. Pada posisi ini belum sampai pada uraian koruptor Aceh Hebat. Koruptor Hebat merupakan suatu penyematan kepada seseorang maupun sekelompok orang yang mahir melakukan korupsi hingga jauh dari upaya penangkapan oleh pihak yang berwenang. Dalam konteks ini, Koruptor Hebat memiliki loyalis, pekerja yang setia di seluruhan Dapil untuk bersatu-padu menutupi kebrobrokran Koruptor Hebat.
Koruptor Hebat itu boleh jadi sedang atau telah menjabat, baik sebagai gubernur, pimpinan/anggota DPRA, bupati/wali kota, hingga ajudan atau kepala dinas. Koruptor hebat mempu menyulap apa saja, ia mampu menyulap beasiswa menjadi keuntungan pribadi. Koruptor hebat mampu menyulap aspirasi atau pokok pikiran (pokir) menjadi kepentingan mitra politiknya. Sehingga saat Koruptor Hebat dalam menjabat tidak fokus memperjuangkan kesejahteraan masyarakat umum, tetapi ia justru fokus untuk mensejahterakan tim suksesnya masing-masing. Pada persoalan inilah Koruptor Hebat dapat menumpuk kekayaannya meski bencana global seperti covid-19 melanda kehidupan.
Dalam catatan sejarah berdirinya KPK, gubernur Aceh adalah adalah subjek yang pertama kali ditangkap KPK, artinya bahwa penangkapan koruptor di Aceh juga dapat disebut sebagai modal dan model bagi Indonesia. Artinya, pada waktu itu gubernur Aceh yang terbukti korupsi langsung ditangkap oleh KPK, sehingga tidak ada ruang negosiasi di balik itu, kemudian gubernur atau pejabat publik yang terbukti langsung ditangkap. Karena langsung ditangkap, maka kepercayaan masyarakat Aceh terhadap KPK meningkat. Demikianlah yang disebut sebagai modal dan model penangkapan yang patut dikembalikan untuk konsisi Aceh hari ini.
Soal tangkap-menangkap seorang atau sekelompok pejabat publik karena korupsi memang sebuah kesedihan atau kemunduran bagi Aceh, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dengan menangkap Koruptor Hebat di Aceh akan lebih memberi ruang bagi upaya pembersihan Aceh dari para koruptor yang sedang, telah atau yang hendak memimpin di Aceh.
Di era Aceh hebat, sebagai jargon pembangunan kepemimpinan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, kemudian bersambung ke masa kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah yang tidak memiliki wakil gubernur usai ia menjadi gubernur, pun ia menjadi gubernur sebagai kelanjutan hasil atau bentuk dari “keberuntungan politik”. Masa masa ini bola api KPK terus ramai menyeret sejumlah nama-nama pejabat, termasuk Gubernur Nova Iriansyah sendiri di saat ia yang katanya terkena covid-19 saat ada pemanggilan dari KPK waktu itu.
Mencermati dua masa jabatan gubernur dalam satu periode (lima tahun) akibat tersandung korupsi, masa ini adalah masa di mana Aceh selalu dihantui oleh kasus korupsi, tapi sayangnya siapa yang korupsi tidak benar-benar dapat berujung pada upaya penyelidikan yang serius dan merata, apa lagi sampai pada upaya penangkapan, baik itu dalam kasus beasiswa oleh segerombolan anggota DPRA, hingga pada kasus pengadaan kapal Aceh Hebat.
Penulis tidak ingin menggiring pembaca untuk mengambil kesimpulan bahwa sejak tertangkap tangan oleh KPK terhadap Irwandi Yusuf dalam kasus korupsi, hingga menjelang akhir jabatan Gubernur Nova Iriansyah bahwa masa jabatan mereka adalah masa jabatan musim “Korupsi Aceh Hebat”, makna Korupsi Aceh Hebat merupakan ada banyak kasus korupsi yang tidak diketahui dalangnya, sungguh hebat bukan? Ya maklum. Penulis ulangi, masa ini adalah masa Korupsi Aceh Hebat, dengan tidak mengatakan bahwa Kapal Aceh Hebat adalah simbol dari keberadaan “Koruptor Aceh Hebat”. Jayalah koruptor di Aceh ketika KPK tidak benar-benar serius memberantas korupsi di Aceh.
Kini, Aceh telah menjadi ancaman bagi krisis korupsi, sebutan ini bukanlah klaim sepihak, tetapi dapat dibuktikan melalui sejumlah laporan terkait indikasi korupsi yang semestinya ditindaklanjuti sampai tuntas. Korupsi terus mendarah daging dalam siklus perpolitikan di Aceh dengan wahana kekhususan yang dimilikinya. Artinya saat korupsi di Aceh tidak diberantas melalui penangkapan koruptor Aceh, maka wahana kekhususan Aceh tersebut akan diisi oleh Koruptor Hebat. Sehingga misi Koruptor Hebat akan terus berupaya dan menyusun strategi untuk masa kepemimpinan politik Aceh di waktu yang selanjutnya.
Berbeda dengan makna koruptor hebat, makna “Koruptor Aceh Hebat” merupakan upaya menyadari seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kuasa di masa jargon politik pembangunan “Aceh Hebat” yang kemudian tidak dapat ditangkap saat kehebohan korupsi Aceh dan pemanggilan sejumlah pejabat Aceh oleh KPK, ditambah lagi terdapat adanya pejabat aktif di Aceh yang kekayaannya berkembang pesat sejak masa kepemimpinan “Aceh Hebat Korupsi”.
Masa kepemimpinan “Aceh Hebat Korupsi” tidak menjadikan upaya penyelamatan rakyat di tengah himpitan ekonomi untuk sadar agar tidak melakukan korupsi, justru nyatanya masih ada pejabat yang terus menumpuk kekayaannya melalui mencari nafkah dalam dunia birokrasi. Sehingga saat mencari nafkah dalam dunia birokrasi menggiring para pejabat tidak peduli apakah itu uang halal atau harta haram, bagi mereka yang penting kaya saat menjabat adalah sebuah prestasi.
Dengan seperti ini akan hadirnya sebuah keyakinan birokrasi di Aceh bahwa korupsi adalah seni memimpin dan menjabat. Praktik dan pemahaman sedemikian terus-menerus diwariskan bagi sesama oknum birokrat untuk menjadikan birokrasi sebagai pengenjot penghasilan dan menumpuk kekayaan. Seterusnya, hal sedemikian terus menciptakan budaya birokrasi di Aceh, seolah-olah tidak ada yang salah saat jabatan birokrasi sebagai tempat pencetak uang atau penumpuk harta, bahkan yang seperti ini adalah sebuah kewajaran dalam dunia birokrasi di Aceh. Sungguh Aceh memang hebat, sehingga tidak berlebihan rasanya ketika mengatakan provinsi Aceh adalah provinsi “Aceh Hebat Korupsi”.