R27mUISKY8MAeCpFpAtsSpjGWGukfoZYVKEfkHA4

Ilusi Kesejahteraan



Oleh Zulfata

Kesejahteraan adalah praksis yang diidam-idamkan oleh semua manusia. Negara dibentuk untuk menjamin kesejahteraan. Daerah diberikan wewenang untuk mampu menciptakan regulator dan kontrol untuk mempercepat kesejahteraan. Demikian pula ketika suatu daerah diberikan momentum dan pengendalian khusus guna mencapai kesejahteraan mestinya harus sadar dan tak boleh teledor.

Sebagai masyarakat Aceh, kita patut bersyukur bahwa saat ini telah mencapai 16 tahun perjanjian untuk mewujudkan kesejahteraan. Melaui perjanjian politik yang juga disokong oleh gerakan diplomasi internasional dengan upaya untuk mewujudkan kesejahtaraan di Aceh telah menghantarkan Aceh sebagai daerah yang sejahtera, sejahtera pejabatnya, sejahtera penasehat khususnya (pensus) dan sejahtera para pengendalian nama besar oleh sosok yang terlibat perjanjian tersebut.

Menghubungkan kesejahteran, perjanjian, politik lokal dan nasional memang mengalami keunikan saat mencermati Aceh hari ini. 16 Tahun perjanjian berlangsung, lembanga-lembaga khusus di Aceh yang mungkin tak pernah dimiliki oleh provinsi yang lain justru menjadikan Aceh dipandang sebagai daerah unik, termasuk unik dalam artian sudah meminta namun tak sanggup menggarap apa yang diminta. Sebab pemangku kekuasaan di Aceh telah sejahtera. Mereka tidak ingin lagi menggarap kebijakan khusus tersebut, kehidupan mereka sudah lebih dari kata mencukupi.

Ada banyak unsur kekhususan itu, tidak perlu diuraikan dalam tulisan ini, sebab nota kesepahaman perjanjian yang dituangkan dalam sejumlah aturan hanya untuk dokumentasi sejarah yang menandakan bahwa Aceh pernah berjuang hebat untuk mendapatkan perilakuan khusus. Khusus karena kemegahan masa lalu, khusus pula karena keunikan masa kini. Sudahlah soal pemahaman keunikan masa kini cukup ditanyakan saja kepada masyarakat yang tinggal di daerah yang masih melewati sungai dengan cara bergelantungan, atau ke pada siswa sekolah dasar yang harus bersekolah di luar daerahnya sendiri akibat bangunan yang disediakan tidak dapat difungsikan.

Ada cerita unik lainnya setelah perjanjian itu dilakukan. Pertama, kekuatan politik Aceh menguat, parlemen didominasi oleh orang-orang pejuang, mereka sangat memahami kebutuhan Aceh. Kekuatan eksekutif dan legislatif diisi oleh kelompok para pejuang yang militan, hebat dan berpengetahuan tinggi. Sanking paham dan militannya kekuatan kelompok pejuang ini, di usia perjanjian ke 16 tahun Aceh masih mengalami daerah termiskin se-Sumatera.

Prestasi Aceh seperti ini tentunya tidaklah akurat, sebab status Aceh miskin bukanlah realitas, melainkan kekeliruan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam melakukan proses pendataan di Aceh. Dalam hal ini BPS mungkin tidak mengetahui ciri khas orang Aceh, atau mungkin BPS tidak mengetahui apa yang diinginkan orang Aceh, yang mentahui tentang kebutuhan Aceh adalah orang-orang pejuang di lingkar perjanjian itu.

Orang-orang yang melakukan perjanjian itu kemudian menciptakan sebuah wadah politik, akademisi menyebutnya wadah itu sebagai parlok (suatu susunan yang diperintah oleh panglima pejuang atau yang terlibat langsung dengan misi perjuangan mewjudukan ksesejahteraan Aceh). Di tangan kelompok diberikan harapan untuk mengelola politik perjanjian guna Aceh cepat dan gesit mencapai hidup sejahtera. Hinggsa saat ini Aceh pun telah sejahtera. Indikatornya, gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tak perlu lagi repot-repot mengurus rakyat Aceh, mereka cukup saling bersandiwara saja, ibarat bermain film dalam menghibur rakyat sebagai penonton.

Kemudian, seiring perkembangan waktu, sanking sejahteranya Aceh, kelompok pejuang itu membelah diri, bukan membelah diri karena konflik internal, tetapi ingin mengembangkan kemandirian mereka karena mereka telah sejahtera. Parlok itupun membelah seiring parlok-parlok lain terus runtuh di makan tanah, lapuk karena anggaran, lekang karena kelemahan sosok yang dihandalkan. Pembelahan mereka menjadikan para pejuang yang sangat paham tentang Aceh pun menyebar, ada yang di dalam pemerintah, dan ada pelu yang mengambil posisi di luar pemerintah. Meski posisi mereka berbeda, tetapi mereka masih dalam satu tujuan, yaitu bagaimana caranya mendapat bagian dari kenikmatan yang disebut sebagai kenikmatan APBA. Jadi, dengan APBA Aceh dapat sejahtera selama-lamanya.

Masih seputar perjanjian, kondisi Aceh hari ini memang telah mencapai sejahtera, karena menjelang 13 tahun usia perjanjian, para pejuang yang paling paham soal perdamaian dan kesejahteraan ini berusaha untuk terlebih dahulu menggarap persoalan bendera dan himne. Tujuannya ingin menampakkan bahwa Aceh memang hebat, beda dari daerah yang lain. Aceh dipimpin oleh para pejuang. Jadi bagi kelompok ini tidak perlu memikirkan jangka panjang terkait kapan pesta demokrasi (Pilkada) mereka dijalankan kembali sesuai dengan kehendak mereka. Artinya ketika aturan terkait Pilkada hilang bukan menjadi masalah besar dalam kekhususan Aceh. Hal ini dilakukan tentunya ingin memberi sinyal bahwa Aceh telah sejahtera dan terserah ikut ilkim politik nasional saja.

Demikian pula, lambang kesejahteraan Aceh dapat dilihat dari betapa mewahnya dan luasnya gedung kepemimpinan adat, beda dengan gedung guberdur dan DPRA. Orang yang berpendidikan tinggi menyebutnya sebagai Lembaga Wali Nanggroe (LWN). Yang menjabat dalam lembaga tersebut tentunya bukan orang sembarangan. Lembaga ini harus dipimpin oleh orang yang memiliki integritas, kejujuran, tidak boleh berpihak pada satu parlok saja, ia diberikan gelar paduka yang mulia.

Sanking habatnya lembaga ini, masyarakat pinggiran Aceh pun tak mengetahui apa tugas pokok dan fungsi LWN tersebut. Hal ini menjadi sebuah kewajaran bahwa yang memimpin LWN itu marwahnya tinggi, bercahaya dan menyilaukan mata masyarakat ketika ingin melihatnya. Sehingga masyarakat tidak dipandang elok saat mengevaluasi kinerja LWN. Sikap seperti ini tentunya bukan menandakan bahwa politik LWN sedang merawat politik feodalisme di Aceh, tetapi justru sedang menampakkan bahwa betapa demokratisnya LWN dalam menjaga alur pelaksanaan kesejahteraan Aceh sesuai perjanjian. Perjanjian yang mengarah pada ilusi kesejahteraan Aceh. Waduh…!

Penulis adalah Direktur Badan Riset Keagamaan & Kedamaian Aceh (BARKKA)
Related Posts
Redaksi
Redaksi BerandaIDN.com

Related Posts

Posting Komentar