Zulfata, M.Ag, Direktur Sekolah Kita Menulis
Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM). Email: fatazul@gmail.com
Tragedi demokrasi terkait kritik yang dilontarkan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dapat dijadikan landasan dalam memahami peran kampus dalam memperkuat demokrasi bangsa. Kampus yang semestinya dapat dijadikan sebagai ruang untuk melakukan proses pendidikan, penelitian dan pengabdian ternyata masih mengalami hambatan kekuasaan dari internalnya sendiri. Fakta ini terbukti melalui aksi pemanggilan BEM UI oleh rektoratnya untuk kemudian “menghapus” kritik yang dilontarkan oleh BEM UI.
Tanpa menguarai kronologi tragedi demokrasi yang melibatkan BEM UI dan rektoratnya. Kajian ini berusaha untuk menguraikan relasi politik antara kampus, kritik dan kekuasaan dalam memperkuat demokrasi Pancasila. Pada persoalan ini memang sudah terbaca bahwa Indonesia hari ini sedang mengalami kemerosotan demokrasi karena nilai-nilai demokratis tersebut tidak begitu dijunjung tinggi oleh lembaga-lembaga strategis kenegaraan. Sebut saja bahwa lembaga perguruan tinggi yang kini masih jauh dari yang namanya membangun perangkat kekuatan berdemokrasi dari internalnya saat mengontrol kekuasaan pemerintah yang lebih demokratis.
Dengan adanya kampus yang masih membungkam ekspresi kemahasiswaan setelah mahasiswa melakukan riset untuk mencerahkan publik, hal ini menandakan bahwa kampus sedemikian telah mencederai prinsip-prinsip demokrasi Pancasila. Pada kasus ini seharusnya kampus yang bersakutan harus mendapat teguran dari pemangku kekuasaan. Namun demikian adanya indikasi perselingkuhan antara kampus dan penguasa justru terus memperparah merosotnya demokrasi Pancasila.
Jarang sekali keberadaan kampus dipandang sebagai lembanga yang bertanggung jawab terkait kualitas berdemokrasi. Padahal, pelaku-pelaku yang merusak demokrasi tidak lepas dari orbitan-orbitan kampus. Seolah-olah kampus hanya dipandang sebagai pencetak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar industri atau sebagai instrumen membuka lapangan kerja. Pada problem inilah sejatinya keberadaan kampus mesti terus dievaluasi oleh publik, terutama dalam hal institusi yang bertanggung jawab dalam menciptakan keadaban berdemokrasi.
Seiring dengan kebutuhan negara yang kini kualitas demokrasinya mengalami terjun bebas, maka sungguh diharapkan kampus mampu menciptakan iklim berdemokrasi agar stabil. Langkah ini dapat dimulai dengan membangun iklim berdemokrasi di internal, serta menjadikan lembaga yang diteladani dalam mempraktikkan demokrasi. Sehingga keberadaan kampus benar-benar sebagai institusi pembawa solusi konkret ketika kekuasaan pemerintah tidak sejalan dengan aspirasi publik.
Dengan kondisi Indonesia hari ini pula kampus semestinya harus bersifat inklusif dalam arti harus membuka seluas-luasnya ruang ekpresi mahasiswa selama pergerakan mahasiswa tersebut memicu pencerahan untuk kemaslahatan bangsa. Kampus hari ini juga harus berani bertindak realistis tanpa banyak berspekulasi dengan keadaan negera yang ramah dengan praktik-praktik oligark yang mahir melakukan politik transaksional. Sanking parahnya kondisi negara yang dilanda politik transaksional, oknum rektorat kampus pun kerab terjebak untuk menduduki jabatan strategis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan melanggar statuta perguruan tinggi.
Melalui tragedi demokrasi pada UI telah membuka mata publik bahwa kampus harus terus diperkuat oleh semua pihak dengan semangat akal sehat, bukan akal sesat yang mahir mencari celah kekuasaan transaksional. Godaan-godaan politik yang dimainkan sejumlah elite memang mampu mengganggu konsentrasi insan kampus untuk keluar dari tanggung jawab demokratisnya. Bentuk godaan-godaan tersebut dapat berupa menjadi penyokong, pendengung (buzzer) untuk melanggengkan kekuasaan yang mencederai demokrasi Pancasila.
Jika kampus larut dan lumpuh dengan kekuasaan pemerintah, serta mempersempit ruang kritik mahasiswa sebagai hasil risetnya, sungguh keberadaan kampus seperti ini menjadi benalu demokrasi dengan tidak menyebutnya sebagai instansi yang mematikan demokrasi. Saat ada kritik yang berangkat dari kampus, apakah itu melalui para dosen, mahasiswa atau rektoratnya tentunya bukanlah kritik yang muncul dari mimpi di siang bolong. Melainkan kritiknya bersifat hasil dari berbagai pandangan intelektual yang harus diterima oleh pemerintah sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan negara.
Pemerintah tidak perlu anti atau alergi dengan kritik yang datang dari kampus, dan jangan pula gesit menjadikan kampus sebagai alat politik kemitraan. Pola ini sedang terjadi karena oknum kampus secara jelas sedang menampakkan kekuatannya dalam melumpuhkan daya kritis insan kampus. Demikian halnya untuk tidak pula membangun framing bahwa tatakerama, sopan santun sebagai alat untuk melemahkan daya kritis mahasiswa, atau siapa pun yang melakukan aksi kritik. Kritik tidak dapat dipisahkan dalam proses berdemokrasi. Tanpa kritik, demokrasi akan bersifat semu, tidak ada upaya kontrol di dalamnya. Sehingga kebebasan yang menciptakan kekuasaan akan bersifat ugal-ugalan tanpa memicu daya lenting kesejahteraan publik.
Mencermati peran para pendiri bangsa, aksi perjuangannya nyaris tidak dapat dipisahkan dari aksi kritik dengan tidak menyebut bahwa kritik adalah kendaraan perjuangan itu sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa maraknya kritikan para pendiri bangsa kepada kelompok-kelompok “penjajah internal” yang tidak benar-benar menjadikan Indonesia merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Tibanya kondisi Indonesia hari ini, terutama ketika ada tradisi kampus, kritik dapat disulap kepada siapa yang mempraktikkannya agar dianggap kurang sopan atau tidak bermoral. Bukankah Bung Karno, Bung Tomo serta Bung Hatta di masa mahasiswanya jupa tampil sebagai pengkritik? Apakah beberapa nama ini dikenal sebagai orang yang tidak memiliki tatakerama atau tidak bermoral? Untuk menjawab pertanyaan inilah sejatinya insan kampus harus benar-benar merdeka dalam memperkuat demokrasi dari internal kampus untuk kemudian menjadi penyokong bagi keadaban demokrasi Indonesia.
Kampus yang merdeka perspektif demokrasi mensyaratkan rektorat, dosen, atau pejabat kampus lainnya tidak menjadikan mahasiswa sebagai elemen yang dapat diperintah sesuai selera pribadi atau kelompok politik. Sebab tidak ada namanya kampus merdeka jika praktik egaliter, menjunjung tinggi panggilan nurani dan akal sehat tidak menjadi kultur di perguruan tinggi.
Dalam konteks ini pula sejatinya seluruh insan kampus dapat mengevaluasi diri bahwa saat ini kampus belum memiliki banyak peran dalam menciptakan iklim demokrasi yang stabil. Justru yang tampak adalah kampus telah terperosok jauh sebagai komoditi politik kekuasaan pemerintah. Fakta ini dapat dibuktikan sejauh manakah kampus mampu mengontrol kebijakan negara atau memberikan saran strategis bagi negara saat negara memperpanjang daftar hutangnya.
Terkait problem kampus, kritik dan kekuasan hubungannya saling berkelindan. Tidak dapat dipisahkan, sebab ketika sisi ini saling mempengaruhi dalam menciptakan keadaban demokrasi atau kemerosotan demokrasi. Salah-satu upaya untuk menyelamatkan kampus agar tidak anti kritik atau tidak menjadikan pemerintah yang terus-terusan mempolitisasi kampus, maka daya kritis mahasiswa harus terus ditumbuhkan, apapun resikonya.
Sungguh tanpa kekritisan nalar insan kampus yang di dalamnya terdapat rektor, dosen dan mahasiswa, maka sederet nama ini layak disebut sebagai insan taman kanak-kanak, yang suka patuh kepada siapa yang memberi, dan takut kepada siapa yang marah. Oleh karena itu, semua yang merasa sebagai insan kampus hari ini, cepatlah sadar dan segera berbenah, apakah jargon Kampus Merdeka benar-benar sedang digarap, atau sebaliknya yang sedang dijadikan kendaraan untuk membungkam suara merdeka mahasiswa.