Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
Kasak-kusuk terkait pejabat Aceh yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari yang lalu secara tidak langsung telah membuka ruang diskursus masyarakat Aceh. Hal ini juga menandakan bahwa masih adanya hasrat masyarakat Aceh merasa geram dengan praktik korupsi yang cenderung mudah ditemukan namun sulit dibuktikan. Paling tidak dengan berbagai respons yang tinggi terkait upaya pemberantasan korupsi yang disuarakan masyarakat dapat menjadi modal sosial yang patut dikelola secara kolektif dalam menjaga kewarasan berdemokrasi di Aceh.
Benar bahwa sebagai pejabat publik sungguh wajar jika dipanggil KPK, boleh jadi hanya sebatas meminta keterangan, saksi dan boleh jadi pula dari meminta keterangan naik status jadi tersangka. Pengalaman pemimpin Aceh yang tersandung korupsi tidak sulit untuk mengingatnya. Kasus helikopter misalnya, kasus ini tampak menjadi penanda bahwa pemimpin Aceh yang terjerat korupsi dominannya bermain di lingkar Pengadaan Barang dan Jasa (BPJ) yang di dalamnya mengawetkan politik transaksi, kartel hingga politik balas jasa. Semoga saja dalam hal pengadaan kapal Aceh Hebat bukan bagian dari penanda bahwa Aceh sedang dipimpin oleh pemimpin bandet.
Secara citra, pemimpin di Aceh, baik yang telah terciduk oleh KPK maupun yang hampir terciduk atau yang akan terciduk, subjek-subjek ini sungguh mahir memainkan narasi empati sosial, parahnya lagi lincah dalam mengatasnamakan pelaksanaan syariat Islam. Pidato dan kebijakan yang mereka telurkan semuanya mengatasnamakan kepentingan masyarakat dengan nuansa religi, meskipun bagi kalangan tertentu bahwa kebijakan yang diciptakan justru yang diuntungkan adalah mitra politiknya yang sudah direncanakan usai mememangkan pesta demokrasi. Kelakuan peminpin Aceh seperti inilah yang disebut dengan pemimpin Aceh sebagai bandet.
Secara etimologi, bandet berasal dari bahasa Aceh yang artinya subjek yang berbuat jahat. Jahat dalam pengertian ini mengandung berbagai aspek, baik jahat dalam bentuk kriminal, premanisme, pelecehan, penipuan hingga korupsi. Demikian pula dengan makna pemimpin Aceh sebagai bandet, sederhananya dapat disebut sebagai pemimpin yang suka menipu, memanipulasi kepentingan publik untuk kepentingan mitra politiknya, hingga lincah mempraktik dan mengembangkan sayap-satap korupsi dilingkar mereka.
Pada kondisi ini para bawahan birokrasi tidak dapat bebuat banyak, sebagai bawahan mereka hanya dapat melaksanakan perintah meskipun perintah tersebut tidak bermanfaat bagi kemaslahatan pelayanan publik. Fakta bawahan birokrasi seperti inilah yang kemudian disebut dilemma birokrasi saat dipimpin oleh pemimpin bandet.
Hadirnya tulisan ini bukanlah sedang mengatakan di Aceh sedang dipimpin oleh pemimpin bandet, dan bukan pula pernah dan selalu dipimpin oleh pemimpin bandet. Tetapi tulisan ini hanya sekedar membangun imajinasi saat Aceh dipimpin oleh pemimpin Bandet. Ada beberapa indikator ketika Aceh dipimpin oleh pemimpin bandet.
Pertama. Segala program pemerintah harus mendapat gratifikasi atau sogok. Indikator pertama ini dapat ditelusuri pada tahapan atau proses yang dihadapi rekanan dalam mendapat pekerjaan. Ketika rekanan mendapat pekerjaan, maka pihak rekanan harus mampu membagi persen dari total pekerjaan yang dilakukan. (baca politik tumpok; Zulfata). Praktik ini bukan saja bicara program pemerintah tingkat nasional atau provinsi, tetapi juga merambat ke pemerintah kabupaten/kota. Jika kaedah korupsi (gratifikasi) ini tidak diindahkan, maka pihak rekanan sampai hari kiamatpun tidak dapat menjadi mitra baik bagi pemerintah dalam melakukan misi pembangunan.
Kedua. Pemimpin anti kritik dan yang mengkritik akan ditarik bersamanya. Maksudnya bahwa pemimpin bandet itu memiliki sikap anti kritik. Saat ada beberapa pihak yang sering mengkritiknya, maka para pengkritik akan ditandai oleh gerbong pemimpin bandet tersebut. Proses menandai tersebut boleh jadi akan diajak bekerjasama untuk menjaga marwah pemimpin bandet, dan boleh jadi dihilangkan panggung pergerakan yang suka mengkritik pemimpin bandet.
Ketiga. Orientasi program pemerintah surplus kepentingan laba pribadi atau mitranya. Tahapan inilah yang disebut disorientasi program pemerintah. Seolah-olah yang dibantu adalah masyarakat, padahal kebutahan masyarakat hanya dijadikan sebagai perangkat untuk memperkaya diri seorang pemimpin bandet atau mitra politiknya. Dengan terus mempraktikkan program pemerintah berabasis strategi bandet, maka efisiensi dari program pemerintah tidak akan terjadi. Program pemerintah yang dijalankan oleh pemimpin bandet dapat ditandai misalnya, pemerintah membangun pasar yang tidak kondusif, atau membangun jembatan yang tidak diperlukan, juga membangun jalan atau tempat wisata untuk menguntung banyak bagi segolongan mitranya pemimpin bandet.
Keempat. Aspirasi publik dimanipulasi. Bagian ini ingin menyampaikan bahwa pemimpin bandet terus mendatangi masyarakat atau tempat-tempat yang patut dibangun sembari mendengar aspirasi masyarakat. Pada posisi ini memang pemimpin bandet mendengar apirasi masyarakat, tetapi tidak semua aspirasi masyarakat dapat dimasukkan ke dalam agenda pembangunan pemerintah. Karena pertimbangan dalam merealisasikan program tersebut harus dapat beririsan dengan keuntungan para mitranya pemimpin bandet.
Kelima. Wakil rakyat mudah dilemahkan oleh eksekutif. Berbagai fungsi kontrol legislatif dapat tidak berfungsi ketika pemimpin bandet telah menciptakan skema politik anggaran. Meskipun pihak legislatif pada suatu-waktu telah mendesak pemimpin bandet untuk turun dari jabatannya, tetapi upaya untuk menurunkan pemimpin bandet menjadi gagal karena pemimpin di legislatif juga diisi oleh pemimpin bandet. Sehingga ketika kepentingan para bandet sudah terpenuhi, maka disinilah titik kelemahan untuk menghilngkan fungsi legislatif sesuai dengan perundang-undangan.
Keenam. Generasi mudanya mudah dipecahkan dengan uang receh. Dalam konteks ini pemimpin bandet mampu mengalihkan fokus gerakan mahasiswa, organisasi kepemudaan (OKP) atau ormas (ormas). Ketika gerakan mahasiswa dianggap dapat mengganggu kepentingan pemimpin bandet, maka pemimpin bandet dan segala timnya berusaha untuk menghamburkan “uang receh” dalam bentuk bantuan apapun, sehingga melalui program tersebut para mahasiswa, OKP atau Ormas secara tidak langsung diajarkan untuk mengelola program sesuai karakter pemimpin bandet.
Ketujuh. Para intelektual mememilih zona nyaman. Keberadaan kaum intelektual semakin berjarak dengan upaya mendobrak kekuasaan pemimpin bandet. Kaum intelektual lebih memilih pada kegiatan yang jauh dari nuansa politik, meskipun mereka tidak lepas dari jaringan politik. Merekah lebih memilih zona nyaman dalam artian tidak menginginkan resiko politik terjadi padanya. Parahnya, intelektual yang memilih zona nyaman ini dapat saja bekerja sama dengan pemimpin bandet. Pada posisi inilah juga menandakan bahwa intelektual juga dapat menjadi bandet, seperti adanya rektor bandet, dekan bandet atau dosen bandet hingga mahasiswa bandet.
Tulisan yang berjudul “Saat Pemimpin Aceh Jadi Bandet” senantiasa menjadi cerminan bagi semua pihak di Aceh agar tujuh indikator yang diuraikan di atas tidak dialami Aceh. Sebagai pemimpin daerah yang dikenal sebagai progresif praktik syariat Islamnya, sudah sepatutnya pemimpin bandet tidak diberi ruang untuk memimpin Aceh. Apakah itu pemimpin tingkat gampong (desa), kabupaten/kota atau provinsi. Meskipun terdapat beberapa gubernur Aceh yang terjerat korupsi, atau pernah beberapa gubernur Aceh berserta jajarannya dipanggil KPK, semoga apa yang telah “bersentuhan” dengan KPK tidak bagian dari penanda “kebandetan” pemimpin Aceh. Dalam konteks ini, untuk menilai apakah pemimpin Aceh hari ini sudah jadi bandet atau tidak, secara terbuka penulis serahkan pada pembaca.
Arah tulisan ini pula bukan semata-mata untuk para pemimpin yang duduk dijabatan eksekutif, tetapi juga di jabatan legislatif atau lembaga independen lainnya. Sehingga dengan berusaha untuk mencegah Aceh agar tidak dipimpin oleh bandet, maka kekuatan bandet-bandet kecil di Aceh tidak akan menguat atau tidak akan mendapat sokongan politik kekuasaan. Untuk inilah sejatinya kita sebagai publik jangan berhenti berusaha dan beroda agar Aceh hari ini dan di kemudian hari tidak memberi tempat kekuasaan untuk para bandet ataupun calon bandet. Mari suarakan Aceh anti pemimpin bandet. Semoga!