R27mUISKY8MAeCpFpAtsSpjGWGukfoZYVKEfkHA4

Mengelola (Politik) Pemuda Aceh



Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis


Satu sektor yang tidak dapat dipisahkan dari bagian sejarah Aceh yang cemerlang adalah peran pemuda Aceh masa lalu. Pemuda Aceh terdahulu telah sukses memberi model berbagai pergerakan dalam mengelola daerah, baik level nasional maupun internasional. Ada yang menggarap penguatan pendidikan dan politik seperti yang diperankan oleh Ali Hasjmy, ada pula yang membangun militansi indentitas keacehan layaknya Hasan Tiro.

Dua tampilan sosok yang mempengaruhi konfigurasi Aceh masa kini tentunya mereka di masa mudanya tidak hidup di ruang yang hampa. Tetapi mereka terus membuka ruang diskursus dan pergerakan dalam mewujudkan gagasannya. Pertanyaan yang mendasar dari kajian ini adalah bagaimanakah eksistensi peran generasi muda Aceh hari ini (generasi 1980-2021) dengan berbagai tantangan baru yang dihadapinya.

Memang untuk menjawab pertanyaan di atas dapat dikatakan sulit-sulit mudah, dikatakan sulit karena banyak faktor atau variable yang perlu diurai secara rinci, dan disebut mudah karena indikator temporal saat ini yang diperankan pemuda Aceh hari ini dapat dijadikan sebuah kesimpulan untuk menilai kondisi Aceh hari ini. Atas dasar inilah penulis berusaha menguraikan untuk mendeskripsikan bagaimana benang merah untuk mengelola pemuda Aceh hari ini yang tentunya tidak menjadikan Aceh di masa depan semakin terpuruk.

Benar bahwa tidak ada pedoman yang baku terkait bagaimana mengelola generasi muda, khususnya generasi Aceh. Bahkan peraturan yang diatur oleh negara belum mampu menjadi penggiring agar pemuda dapat menjadi salah-satu pilar dalam menciptakan martabat daerah di Indonesia. Mencermati potret kepemudaan Aceh hari ini, yang di dalamnya juga termasuk peran kaum perempuan muda. Penampakan sementaranya sudah mengkhawatirkan, terlebih setelah pemerintah Aceh membagi-bagi dana hibah yang jumlahnya tidak sedikit di masa covid-19.

Pada masa ini organisasi kepemudaan (OKP) justru mengalami disoreantasi atau diam tak bernyali dalam mengawal kebijakan pemerintah Aceh. Padahal, tidak jauh berselang sebelum covid-19 datang ke Aceh, persatuan generasi muda Aceh, terutama dari kalangan mahasiswa sudah ada penampakan solidaritas di antara mereka. Misalnya pada peristiwa demonstrasi di depan kantor Gubernur Aceh terkait kasus salah-satu perusahan besar di Aceh.

Tidak ingin begitu panjang menguraikan bagaimana gerakan dan dinamika pemuda Aceh masa tahun ini (2019-2021), atas kondisi seperti ini tentunya ada sebuah haluan atau formulasi untuk menghidupkan kembali pergerakan pemuda Aceh agar tidak mudah masuk ke dalam jebakan kaum oligarki, apakah kaum oligarki tersebut muncul dari birokrasi atau dari sekelompok masyarakat yang selalu melek dalam mempraktikkan politik kartel.

Sebelum merumuskan formula alternatif dalam mengelola pemuda Aceh, untuk masa kini pergerakan pemuda Aceh cenderung hidup melalui sistem pengkaderan melalui organisasi, apakah itu organisasi internal kampus maupun organisasi eksternal kampus. Tanpa memperdebatkan apakah organisasi internal kampus atau eksternal kampus yang lebih strategis memperkuat keadaban daerah dan bangsa, yang ingin disampaikan bahwa kultur regenerasi pemuda Aceh hari ini ada gejala yang kurang baik.

Gejala ini salah-satunya ditandai dengan meningginya hasrat politik transaksional di lingkar kaum pergerakan kepemudaan di Aceh. Apakah itu transaksi dalam bentuk finansial maupun dalam pembentukan gerbong pergerakan yang membenihkan kaum-kaum oligarki baru. Artinya bahwa jika kondisi sedemikian terus dibiarkan, maka kaum oligarki terus mangalami pembaharuan dan penguatan.

Jika direfleksikan dengan pergerakan pemuda Aceh setelah kemerdekaan Indonesia. Identitas pergerakan pemuda Aceh yang berjuang atas panggilan sejarah dan kesadaran moral bersama telah memudar dengan kondisi pergerakan pemuda Aceh hari ini. Seperti diketahui bersama, para pemuda Aceh masa lalu berjuang dengan segala upaya dan tidak mudah tergiur dengan harta dan kekuasaan, apalagi mengedepankan kepentingan pribadi atau mitra di atas kepentingan masyarakat.

Norma atau etika perjuangan generasi Aceh terdahulu inilah yang semestinya menjadi landasan memperkuat upaya mengelola pemuda Aceh. Jika dicermati lebih dalam, adanya faktor pergerakan berbasis kultural yang dilakukan pemuda Aceh terdahulu yang dapat membuat mereka solid dan tanpa mudah terjebak pada manipulasi kekuasaan. Beda halnya dengan hasrat pemuda Aceh hari ini yang mudah ditakhlukan oleh kaum oligarki. Fakta pengucuran dana hibah terhadap OKP cukup memberi bukti soal ini.

Meskipun kondisi pemuda Aceh hari bukanlah akhir dari segala-galanya,tanpa mengulur waktu seyogianya semua pihak di Aceh terutama dari kalangan mahasiswa dan pemikir Aceh untuk sama-sama kembali merajut ruang diskursus terkait peta jalan yang harus diperjuangkan pemuda Aceh tanpa keluar dari norma pemuda Aceh masa lalu.

Dalam konteks ini, pemuda Aceh tidak selalu dapat bergerak melalui jalur struktural organisasi yang dihuninya, tetapi dapat juga melalui gerakan bersama warga yang didorong oleh kehendak moral dalam memperjuangkan kepentingan umum. Sebab memahami budaya organisasi structural hari ini cenderung telah dikuasi oleh kaum oligarki, sehingga arah pergerakannya terkadang bersifat musiman dan dikendalikan hanya sebatas isu tertentu.

Dari banyak sektor yang harus dikelola oleh pemuda Aceh, paling tidak kekuatan politik Aceh harus mampu diciptakan dan dikendalikan oleh pemuda Aceh. Sebab potensi untuk mengendakikan kepemudaan Aceh tidak dapat ditkalhlukkan oleh sekelompok kekuatan politik meskipun dapat dijebak atau dikacaukan. Atas kondisi inilah seyogianya generasi muda Aceh yang berintegritas dan bergagasan dalam memimpin harus dicetak, apakah itu dicetak di melalui kampus atau di jalananan alam terbuka.

Penting untuk digaris bawahi bahwa tanggung jawab mengelola pemuda Aceh bukanlah pada pemerintah Aceh dan bukan pula pada warga Aceh, melainkan tanggung jawab mengelola pemuda Aceh ini berada pada setiap individu pemuda Aceh. Untuk itu, pola pikir dan kesadaran bersama dalam menjaga martabat Aceh harus terus ditanamkan dalam setiap pemuda Aceh. Jika benar pemuda Aceh hari ini dominannya telah rusak, maka jangan khawatir.

Sebab pepatah mengatakan bahwa “patah tumbuh hilang berganti”, artinya, kalau pemuda Aceh hari ini tidak dapat dijadikan sebagai tumpuan harapan meningkatkan martabat Aceh, maka jangan lelah untuk terus mencetak pemuda Aceh yang memiliki kesadaran juang secara berintegritas. Untuk itu, dalam mengelola pemuda Aceh tidak ada kata terlambat, atau tidak ada sesuatu yang sia-sia jika terus-terusan menjalankan agenda-agenda perbaikan karakter bagi seluruh pemuda Aceh. Hanya kepada Allah Swt kita berserah diri.

Related Posts
Redaksi
Redaksi BerandaIDN.com

Related Posts

Posting Komentar