Zulfata, M.Ag Direktur Sekolah Kita Menulis
Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis
Studi terkait Aceh selama ini dapat ditarik dari berbagai perspektif. Ada yang menariknya dari perspektif perang, pemberontakan, hingga antropologi kebudayaan. Kini, seiring meningginya gelombang digital, secara tidak langsung merubah konfigurasi terkait Aceh. Memang banyak yang tidak sepakat bahwa Aceh hari ini telah berubah drastis dari apa yang ditinggalkan sejarahnya. Perubahan yang dimaksud dalam kajian ini adalah semangat gotong-royong politik Aceh. Sehingga potret politik Aceh hari ini hampir tak ubahnya dengan perpolitikan liberal layaknya Amerika.
Sejatinya apa yang disinggung di atas adalah bagian kecil dari perubahan besar yang sedang dialami Aceh. Pada posisi inilah sejatinya studi terkait Aceh harus terus dibuka ruang diskursusnya agar tidak terjebak romantika sejarah dan kosong-melompong menantap masa depan Aceh. Pemahaman sederhananya adalah benar bahwa Aceh masa lalu memberikan kekuatan moral bagi daerah dan bangsa, namun Aceh hari ini tampak mengalami kekacauan arah dalam pengelolaannya. Mulai dari persoalan pendidikan, politik hingga perekonomian.
Realitas keacehan hari ini, Aceh sebagai daerah birokratis justru sedang mengalami kemiskinan secara strukrur, bahkan sedang menyusun tangga bagi penguatan budaya politik yang merusak sesama. Dalam konteks ini jangan tanya bagaimana daya lenting demokrasi di Aceh, sebab sungguh tidak stabil. Atas kondisi inilah penulis mencoba membangun konsepsi bahwa Aceh dapat dipahami sebagai gampong (desa). Artinya bahwa upaya dalam membangun Aceh harus mampu mendongkrak kemajuan gampong. Mulai dari infrastruktur hingga tingkat kesejahteraan ekonomi. Aceh sebagai gampong memiliki semangat untuk melakukan pembangunan yang tidak hanya terpusat pada ibu kota provinsi, namun harus berangkat dari gampong, terutama harus mampu menyentuh gampong yang paling ujung dan terpinggir dan terluar.
Setelah melakukan kunjungan di berbagai gampong di Aceh, baik dari sisi pantai timur, barat dan tengah Aceh, penulis menemukan banyak kesenjangan antara konsepsi Aceh yang dipahami oleh masyarakat ibu kota provinsi dengan realitas kondisi di gampong-gampong. Artinya bahwa diksi Aceh yang kaya ternyata hanya terdapat pada wilayah tertentu (pusat pemerintah kabupaten/kota saja). Melalui gagasan ini pula mengapa tidak di Aceh mampu merekonstruksi program pembangunan yang adil antara daerah kota dengan gampong. Bukankah Aceh mampu melakukannya agar berbeda dengan daerah lain di Indonesia? Bukankah Aceh dikenal sebagai provinsi daerah modal dan model? Dalam konteksi ini patut kita tunggu bagaimana pemerintah Aceh mampu mendongkrak konsep pembangunan yang tidak melupakan gampong atau terus-menerus mempolitisasi gampong.
Benar bahwa secara citra dan demografi antara kota dan gampong tidak perlu disamakan, justru masing-masing memiliki ciri keunikannya. Kota memiliki potensi pengembangan jasa, akses pendidikan dan distribusi barang yang dominan, dan kemudian dapat mengangkat perekonomian. Selain itu kesempatan membuka lapangan pekerjaan sungguh dapat dilakukan di wilayah perkotaan. Berbeda halnya dengan gampong, yang tingkat kebutuhan jasa dan ketersediaan barangnya jauh lebih kecil dari kota. Hal ini bukan berarti gampong tidak memiliki potensi lain, justru beberapa jenis barang baku yang disuplay ke kota berasal dari gampong.
Tanpa terjebak pada perbandingan antara kota dan gampong, dapat ditarik benang merah bahwa bagaimana Aceh sebagai provinsi dapat memberikan jaminan kesejahteraan pada dua wilayah tanggung jawabnya tersebut (kota dan gampong). Seiring dengan perkembangan studi keacehan, gampong dan kota cenderung diangkat dari perspektif antropologi, politik dan budaya. Sehingga jarang sekali menemukan studi keacehan dalam upaya membangun kota dan gampog secara beriringan. Jika kesenjangan Aceh terkait kota dan gampong terus dibiarkan tanpa ada upaya perubahan strategi pembangunan, dikhawatirkan citra Aceh hebat atau Aceh sejahtera dan religius hanya di permukaan belaka, namun di dasar “masyarakat”nya mengalami huru-hara dengan tidak menyebutnya sekarat.
Sebagai contoh dari dampak citra Aceh yang penulis maksud adalah ketika kita menemukan fakta bahwa banyak pemerhati Aceh yang berada di luar Aceh seolah-olah bicara soal Aceh hanya dapat diwakili oleh Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, Meulaboh atau Subulussalam. Sehingga adanya pembekuan benak pada pemerhati Aceh bahwa Aceh sedang mengalami proses kemajuan karena beberapa kota yang disebutkan di atas mengalami kemajuan secara infrastruktur meskipun konfigurasi politik dan budayanya tak menentu. Mungkin problem inilah yang patut terus dibuka diskursus dalam kajian studi keacehan. Sebab Aceh bukan sekedar bicara masa lalu dan masa sekarang, tetapi juga bagaimana memahami Aceh dari masa kini untuk masa depan.
Saat memahami Aceh sebagai gampong secara tidak langsung Aceh sebagai provinsi tidak akan kehilangan jati diri keacehannya, terlebih saat kemajuan teknologi dan kebudayaan tampak terus menggerogoti situasi Aceh hari ini. Tanpa memahami Aceh sebagai gampong boleh jadi Aceh akan berubah seperti kota-kota di Amerika, dan boleh jadi pula interaksi sosial Aceh menjunjung tinggi individualistik dan praqmatisme, Sehingga kearifan Aceh lama-kelamaan mengalami pemudaran akibat proses pembangunan Aceh yang tak sadar jati dirinya. Jati diri keacehan tersebut dapat ditemukan melalui pintu memaknai “gampong”.
Makna gampong dalam tulisan ini bukanlah sekedar bicara teritorial atau demografi level perdesaan. Jauh dari itu gampong memberikan makna bahwa ada nilai perstuan kekeluargaan, militan dan kearifan di dalamnya. Sehingga semua ini menciptakan etos bersosial dalam mengelola bangsa dan negara. Nilai inilah yang menurut penulis telah pudar dalam tatakelola Aceh sebagai provinsi hari ini. Seolah-olah pengelolan Aceh sebagai provinsi dengan nilai “kegampongannya” akan menjadikan Aceh tidak akan maju-maju. Padahal kita lupa mengapa Jepang dapat maju karena bijaksana dalam mengelola etos kebudayaan daerahnya sendiri.
Pada kesempatan ini mungkin kita lupa bahwa Aceh dokolonialkan karena Sumber Daya Alam (SDA) yang berada di gampong-gampong, mungkin kita juga lupa bahwa ajaran Islam menguat di Aceh masuk melalui gampong, dan kita juga tak boleh lupa bahwa pendengkalan aqidah juga masuk melalui gampong. Lantas bagaimanakah masyarakat hari ini menilai sebuh kata gampong? jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Agar tidak terlalu mengambang, memahami Aceh sebagai gampong memiliki kesimpulan bahwa semangat apapun dalam membangun Aceh, baik dalam hal memperbaiki pendidikan, politik, budaya, ekonomi, bahkan ingin menentukan haluan Aceh masa depan, maka jangan terlalu naïf untuk melupakan nilai-nilai kearifan yang berada di gampong sebagai etos pembangunan. Hal ini menjadi penting karena tanpa mensejahterakan gampong, kemajuan kota akan lesu. Demikian halnya tanpa memajukan gampong, kehebatan apapun orang luar Aceh melihat Aceh hari ini adalah sebuah ilusi yang tidak didasari oleh fakta yang menyuluh soal Aceh.